MabesNews.com, Medan-Khatib Ustadz Wahyu Riswanda mengajak jema’ah untuk merenungi dan mengambil pelajaran dari hikmah qurban Nabi Ibrahim a.s.
“Mari kita memahami dari kisah keshalihan Ibrahim dan keikhlasan Isma’il a.s,” ajak Wahyu Riswanda ketika menyampaikan Khutbah Shalat Idul Adha 1445 H di Masjid Jamik Al Qanitin Jalan Sei Sikambing, Sekip Medan Petisah, Senin 17/6/2024.
Di hadapan seribu lebih jemaah Shalat Id itu Wahyu melukiskan kisah Indah, penuh haru dan menyentuh hati. Bahkan sarat dengan muatan hikmah selalu terngiang manakala 10 hari pertama bulan Dzulhijjah datang menghampiri.
“Sebagian kecil lembaran kisah tersebut diungkap dalam Al-Qur’an, antara lain Q.S. Ash-Shaffat ayat 102,” jelas Wahyu yang juga bertindak sebagai Imam Shalat Idul Adha di Masjid Jamik Al Qanitin yang jemaahnya membludak higga di pelataran masjid.
Dari kutipan ayat ini, lanjut Wahyu memberikan gambaran tentang qurban dan pengorbanan Nabi Ibrahim penuh dengan hikmah yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi ummat Islam sehingga ditumbuh kembangkan dalam berbagai bentuk sikap mulia.
Wahyu menyebutkan beberapa diantaranya. Pertama peristiwa qurban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim terhadap Isma’il merupakan simbol kepada semua manusia bahwa untuk mencapai kesuksesan dan ridha Allah maka semangat rela berqurban harus digalakkan disertai kecintaan kepada Allah di atas segalanya.
Artinya mampu mengolah, mengelola sikap perilaku dengan contoh positif, dan mampu menunjukkan arah serta membangun semangat kepada orang-orang sekitarnya.
اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.
Kaum muslimin dan muslimat jema’ah Idul Adha Rahimakumullah.
Kedua papar Wahyu qurban pada hakikatnya menyembelih atau memotong sifat-sifat hewani seperti egois, rakus atau tamak, mencuri atau korupsi, merampas hak-hak orang lain, kezhaliman bahkan tirani/diktator sudah selayaknya dipangkas atau dihilangkan.
Nabi Ibrahim a.s tidak diperintah Allah untuk menjadi pembunuh agar membunuh Ismail, Ibrahim hanya diminta Allah untuk membunuh rasa. “Kepemilikan” terhadap Ismail, karena pada hakikatnya semua adalah milik Allah.
“Setiap kita adalah “Ibrahim” dan setiap Ibrahim mempunyai “Isma’il”, “Ismailmu” mungkin “hartamu”, “Ismailmu” mungkin “jabatanmu”, “Ismailmu” mungkin “gelarmu”. “Ismailmu” mungkin “ego dan kesombonganmu”, “Ismailmu” mungkin adalah sesuatu yang paling engkau “sayangi” dan engkau “pertahankan” di dunia ini,” rinci Wahyu dengan nada suara yang komunikatif.
Dia menyebutkan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya -Madarijus Salikin” menjelaskan bahwa pemuasan nafsu merupakan perbuatan manusia yang membuat mereka tidak berbeda dengan semua jenis hewan. Di antara jiwa manusia ada yang menyerupai perilaku hewan, bahkan lebih dari itu.
Wahyu memaparkan, Al-Qur’an dalam berbagai ayat menyebutkan manusia berperilaku hewan, antara lain: dalam Q.S. Al-A’raf: 179. Allah berfirman yang artinya:”Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda- tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Q.S. Al-A’raf: 179).
Ketiga, adalah lanjutnya, pembagian daging hewan qurban kepada orang yang tidak mampu. Pada hakekatnya adalah membangun kesetia kawanan dan solidaritas sosial ummat Islam dan memupuk rasa kebersamaan serta nilai-nilai persaudaraan. Sehingga silaturrahim tetap terjalin dan ukhuwwah selalu terjaga.
Pada bagian lain Wahyu mencontohkan kita prihatin terhadap pertikaian antar umat, politik penuh intrik, fanatik terhadap organisasi dan kelompok lebih besar daripada terhadap agama. Hasut, iri, dengki dan fitnah menjadi barang murah.
“Malah lipstik keseharian di masyarakat, permusuhan dan perpecahan menjadi subur. Sedangkan cinta dan kasih sayang menjadi pudar, ukhuwwah Islamiyyah menjadi mahal, bahkan terlalu mahal sehingga tidak terjangkau. Adapun ummat yang di bawah bagai daun kering. Mudah dihimpun tapi sulit diikat, jika terkena angin langsung berisik, jika terkena api langsung terbakar. Padahal Allah merekatkan persaudaraan di antara kita,” pungkas Wahyu Riswanda.(tiar)