MabesNews.com.Latimojong, Luwu – Kamis sore, 2 Mei 2024, hujan rintik-rintik, Mastem dan Muhammad Rafli serta Nirwan meninggalkan Desa Buntu Sarek, Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu menuju Jambu, Bajo.
Mereka tidak menduga dibelakang bencana akan menimpa desanya. Ternyata, Jumat dini hari, 3 Mei 2024 petaka itu datang. Hujan deras mengakibatkan longsor menerjang rumah di desanya.
“Banjir disini, 8 orang meninggal,” telepon masuk ke Mastem dari keluarganya di Desa Buntu Sarek.
Suaranya putus-putus, lampu sudah padam dan jaringan tidak normal. Hanya kata ‘delapan orang meninggal’ terasa jelas ditelinga Mastem, selebihnya kabur.
Informasi itu melahirkan kegundahan di hati mereka. Kekhawatiran menghinggapi pikiran. Perasaan campur aduk. Gelisah membayangkan bagaimana keadaan keluarganya di atas gunung di Desa Buntu Sarek.
Pagi hari, Nirwan diutus melihat situasi jalan. Akses terputus. Longsor dimana mana sehingga Nirwan kembali.
Esoknya, Sabtu 4 Mei 2024, pagi hujan masih turun, Mastem, Nirwan, Rafli, Suarno, Bibi, Ali, Furkan, Mustakim mengambil keputusan apapun yang terjadi harus kembali ke kampung di Desa Buntu Sarek.
Karena akses terputus, dari Salumbu mereka putuskan jalan kaki dengan menerjang lumpur memasuki hutan untuk menghindari longsor. Sembilan jam mereka berjalan kaki hingga akhirnya tiba di Masjid Buntu Sarek.
Ratusan warga Desa Buntu Sarek sudah berkumpul di masjid tersebut. Semenjak longsor terjadi, disitulah para warga tidur dan masak bersama. Mereka gelisah, sampai kapan mereka seperti itu. Kembali ke rumah beraktivitas juga tidak mungkin. Mastem menduga Desa Buntu Sarek sudah tidak layak untuk dihuni. Retak gunung dimana mana. Jika hujan deras datang, Desa Buntu Sarek bisa tertimbun lumpur.
Tiga hari sudah mereka mengungsi di masjid. Bahan makanan mulai menipis. Banyak orang sudah pasrah dan siap menerima takdir apapun termasuk kematian.
Mastem dan kawan-kawan mencari jalan keluar. Mereka berkomunikasi dengan kepala desa yang sedang berduka karena delapan anggota keluarganya meninggal dunia.
Akhirnya, evakuasi adalah jalan keluar. Mereka mmedengar informasi bahwa heli BNPB Belopa mendarat di desa tetangga, Dusun Rante Lajang, Desa Pajang. Karena jumlah pengungsi yang banyak sehingga diputuskan evakuasi berlangsung dua kali, mendahulukan orang tua dan anak-anak. Mereka menempuh perjalanan berjalan kaki selama lima jam untuk sampai ke Rante Lajang. Lansia ditandu darurat menggunakan sarung dan anak-anak digendong.
Muhammad Rafli dengan berkaca-kaca bercerita panjang tentang istrinya, Nengsih yang baru dua bulan habis melahirkan secara operasi, harus menerima kenyataan berjalan kaki. Rafli menggendong bayinya dan mereka berjalan menerobos lumpur dan memasuki hutan. Sesekali mereka beristirahat karena Nengsih merasa kesakitan.
Tidak ada pilihan, mereka harus terus berjalan kaki atau tidak selamat sama sekali. Ancaman longsor susulan tetap mengintai. Pulang bukan pilihan dan semuanya merasa lega tatkala lapangan Rante Lajang sudah terlihat. Heli sudah siap membawa mereka.
Sebuah kisah nyata dari Latimojong. Semoga semuanya cepat pulih dan korban diberikan ketabahan atas cobaan yang menimpa mereka. (*)