MabesNews.com, Jakarta – Opini oleh : Sri Rajasa, MBA
PESTA sudah usai, ternyata hanya menyisakan kemiskinan yang harus diderita rakyat Aceh.
Kepemimpinan Mualem sebagai Gubernur Aceh, harus dijadikan era baru kepemimpinan Aceh yang mengedepankan kepentingan rakyat, sebagai skala prioritas pembangunan Aceh, dengan target menyelesaikan persoalan kemiskinan yang terus menerus menerpa Aceh sejak periode damai.
Oleh karenanya, dibutuhkan kesadaran kolektif para pemangku kebijakan di Aceh, untuk bertindak sebagai problem solving, bukan terus menerus menjadi problem taking.
Sejarah Aceh mencatat, sosok Sultan Iskandar Muda, pemimpin berkualitas negarawan, dengan statemennya yang mashur
“Matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat tamita (Mati anak ada kuburannya, Mati adat tidak ada gantinya)”, terbukti mampu membawa Kesultanan Aceh Darussalam, menikmati masa keemasan.
Merujuk realita Aceh hari ini dan sejarah gemilang Aceh dibawah Sultan Iskandar Muda, seyogyanya patut dijadikan pedoman Gubernur Aceh, untuk mengulang masa keemasan Aceh, melalui langkah strategis melakukan rasionalisasi APBA sebesar Rp. 11.07 triliun, dalam rangka sasaran pembangunan dapat dirasakan langsung oleh rakyat Aceh.
Menurut Koordinator Lembaga Transparasi Tender Indonesia Nasruddin Bahar, APBA Ta 2025 jika ditelisik dari data Rencana Umum Pengadaan (RUP) di SIRUP LPSE Aceh, masih banyak alokasi anggaran yang mubazir dan sama sekali tidak berpengaruh pada upaya pengentasan kemiskinan.
Alokasi anggaran yang mubazir dan tidak menyentuh pada percepatan kesejahteraan rakyat diantaranya, pengadaan videotron untuk DPRA sebesar Rp 3,5 milyar, pengadaan mobil dinas Ketua dan Wakil Ketua DPRA sebesar Rp. 8,7 milyar, pengadaan digitalisasi museum tsunami sebesar Rp. 11,93 milyar, pengadaan papan informasi dan gorden jendela di Dinas Lingkungan Hidup masing-masing sebesar Rp. 3 milyar.
Lebih memprihatinkan lagi, seluruh alokasi anggaran yang disebut tadi, adalah titipan dana pokir anggota dewan yang tidak pernah diusulkan oleh masyarakat, dalam rapat musrenbang.
Nasruddin juga menjelaskan, alokasi anggaran pembangunan rumah dhuafa oleh dinas perkim, masih jauh dari harapan. Idealnya Pemerintah Aceh menggelontorkan dana Rp. 500 milyar untuk pembangunan rumah dhuafa, sehingga dapat mengatasi kesenjangan social yang terjadi dimasyarakat Aceh.
Jika menelisik alokasi dana pokir, tidak relevan dengan upaya pengentasan kemiskinan, maka orientasi mengejar rente dari anggota DPRA, nampaknya telah mengalahkan niatnya untuk memenuhi janjinya yang diumbar saat kampanye yang lalu.
Akhirnya waktu yang membuktikan, bahwa dana pokir adalah modus praktek korupsi yang mendapat legitimasi. – Penulis adalah Pemerhati Intelijen.
(Samsul/Tim)