Pengamat Hukum Nilai Gugatan Dinasti Politik Bukan Obyek dan Kompetensi Pengadilan TUN

Pemerintah122 views

MabesNews.com, Jakarta – Pengamat sekaligus Wakabid Hukum Partai Gelora Tina H. Tamher mempersoalkan gugatan para praktisi hukum dan Advokat Perekat Nusantara mengenai perbuatan melarang hukum praktik dinasti politik.

Bedasarkan informasi yang disampaikan koordinator TPDI Gugatan Tata Usaha Negara (TUN) tersebut dilayangkan kepada 12 Tergugat yang diduga terlibat praktik dinasti politik.

Mereka antara lain Presiden Joko Widodo (Jokowi), Mantan Ketua MK Anwar Usman, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Medan Muhammad Bobby Afif Nasution, Menteri Pertahanan Prabowo Subianti, KPU RI, dan sasaran Lainnya Mahkamah Konstitusi dan Media Podcast Bocor Alus Politik Tempodotco sebagai Tergugat.

Menurutnya, gugatan TPDI terkait dinasti politik tidak layak terutama ketika perkara tersebut masuk dalam gugatan TUN.

“Dalam berbagai literature termasuk UU No. 9 Tahun 2004 mengenai soal yang dapat dipersengketakan dan dituntut secara hukum adalah suatu produk tertulis bersifat penetapan tertulis yang sudah baku seperti SK, Memo, Nota ataupun sejenisnya yang bersifat konkrit, individual dan final. Konkrit artinya jelas dan tidak abstrak, individual artinya menyangkut orang perorang, dan Final artinya definitif menimbulkan akibat tertentu,” kata Tina, Jumat (19/1).

Ia menambahkan, bila mencermati kompetensi dan object Peradilan TUN maka jelas ketentuan Pasal 53 UU No. 9 Tahun 2004 memberi batasan kepada siapapun juga dapat saja mengajukan sengketa tuntutan asal produknya secara formil ada format baku yang sifatnya keputusan agar dinyatakan batal atau tidak sah.

“Bahkan tuntutan pembatalan Keputusan itu dapat disertai atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi/rehabilitasi. Persoalannya gugatan mengenai isu Dinasti Politik tidak ada diatur/dijangkau oleh kompetensi Peradilan TUN bahkan dalam sejarah perjalanan UU TUN dan Peradilan TUN belum pernah ada obyek TUN semacam itu,” ujarnya.

Gugatan soal Dinasti Politik adalah substansi politik bukan substansi hukum.

Mengenai pemaknaan dinasti politik, kata dia, dapat diartikan sebagai regenarations of power within a family through atau secara mudah dimaknai terjadinya generation after generation adalah terkait isu demokratisasi dalam proses politics yang rumpun obyeknya adalah terkait UU Pemilu yang memiliki spesialisasi dan jurisdiksi tersendiri jauh dari persoalan produk Tata Usaha Negara.

“Tentunya secara kasat mata mudah saja bagi hakim TUN dengan cepat menyatakan gugatan ini kandas (tidak dapat diterima) saat proses dismissal,” terang dia.

Selanjutnya, ia mengatakan bahwa secara legal rasional maupun legal faktual gugatan Pengadilan Tata Usaha Negara akanmengalami kesulitan prosedural untuk membentuk keyakinannya yang harus di bangun dari bukti-bukti dan bukan sekedar opini-opini yang disampaikan selama ini.

“Katakanlah hakim TUN dituntut untuk membentuk semacam innovation intepretation (perluasan penafsiran) Alat bukti dengan konsep nepotism evidence sampai hari ini tulisan ini diturunkan hampir tidak ada putusan TUN dengan model tafsir semacam itu apalagi motif argumentasi mengarah kepada pembuktian kesalahan pejabat TUN menyalahgunakan wewenangnya,” tambahnya.

Pembuktian tendensius semacam itu tidaklah masuk rasio hukum hakim TUN

Tina uga menyebut apabila merujuk prinsip yurisprudensi sekalipun tidak dianut tegas di Pengadilan TUN Indonesia dalam berbagai yurisprudensi baik yurisprudensi tetap maupun yurisprudensi tidak tetap katakanlah dengan causa psikologis maupun causa politik, praktis para hakim tidak mungkin didesak dan dipaksa keluar dari fatsun hukumnya.

“Jadi menurut saya hakim sejak dini tidak menerima dan menolak gugatan Dinasti Politik ini karena nuansa politisnya saja tapi tidak ada kompetensi hukumnya,” ucapnya.

Pejabat TUN in casu Presiden lanjut Tina telah “menggunakan kewenangan” mengeluarkan keputusan pejabat Tata Usaha Negara yang merupakan ataupun pejabat adminstrasi negara atau diskresi Presiden.

 

(Samsul/Tim)