Pedagang Pasar Sawa Terhimpit Kenaikan Iuran: “Seperti Kontrak di Rumah Sendiri!”

Mabesnews.com.Makassar, Sulsel  – Suasana di Pasar Sawa memanas! Sejumlah pedagang mengeluhkan lonjakan iuran pasca-renovasi yang justru membuat mereka semakin terhimpit. Mereka merasa kenaikan tarif yang drastis tidak sebanding dengan kondisi pasar yang kini disebut lebih sepi pembeli, Selasa 18/02/2025.

“Sebelum renovasi, pasar ini selalu ramai. Sekarang justru sepi, tapi biaya sewa naik gila-gilaan!” keluh Udin, Wakil Asosiasi Pedagang Pasar Sawa.

Udin membeberkan bahwa tarif kios yang sebelumnya Rp20.000 per bulan kini melonjak lima kali lipat menjadi Rp100.000. Sementara itu, tarif hamparan yang dulunya Rp10.000–Rp15.000 kini mencapai Rp75.000 per bulan.

“Kami ini pedagang kecil, terasa seperti harus mengontrak rumah sendiri. Belum lagi biaya listrik yang membengkak!” lanjutnya.

Biaya listrik juga menjadi sorotan pedagang. Kini, pengelolaan listrik sepenuhnya di tangan DP Pasar Makassar, dengan tarif Rp2.250 per kWh, biaya beban Rp41.000, plus PPN 11%. Dalam sebulan, tagihan listrik bisa mencapai Rp292.000.

Pedagang Merasa Ditekan, PD Pasar Membantah

Jalil, Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Sawa, menilai kebijakan kenaikan iuran dilakukan sepihak tanpa sosialisasi yang memadai.

“Tiba-tiba saja tarif naik, tidak ada pilihan, harus dibayar! Bahkan ada ancaman: kalau tidak mampu bayar, silakan keluar!” katanya dengan nada geram.

Namun, Kepala Pasar Sawa, Arsyad S. Umar, membantah klaim bahwa pasar sepi dan pedagang tidak diberi keringanan.

“Pasar Sawa justru ramai setiap pagi! Kami juga sudah menurunkan iuran harian dari Rp12.000 menjadi Rp9.000 sebagai bentuk perhatian kepada pedagang,” ujarnya saat ditemui di Jalan Gunung Latimojong.

PD Pasar juga menegaskan bahwa kenaikan iuran sudah sesuai perhitungan Pemerintah Kota Makassar. Bahkan, mereka memiliki target pemasukan Rp88,4 juta per bulan dari sewa tempat, parkiran, dan iuran harian.

Direksi PD Pasar: “Pedagang Harus Paham, Ini Sudah Bijak!”

Sukarno Lallo, Direktur Pengembangan Usaha PD Pasar Makassar Raya, menilai para pedagang harus lebih memahami kebijakan tarif.

“Kalau pedagang bisa dapat Rp50.000 per hari, dalam sebulan mereka bisa meraup Rp1,5 juta. Dari itu, yang dibayarkan ke pemerintah hanya Rp100.000 per bulan. Ini sudah sangat ringan!” tegasnya.

Ia pun menyindir para pedagang yang baru bersuara saat iuran naik.

“Saat untung Rp100.000 per hari, mereka diam. Begitu tarif naik, baru teriak!” katanya.

Sukarno juga memastikan bahwa sosialisasi telah dilakukan dan pihaknya siap membuktikan dengan dokumen lengkap.

“Kalau ada yang merasa keberatan, ayo duduk bersama. Kami ingin solusi yang adil bagi semua!” tantangnya.

Pedagang Minta Keringanan, Akankah Ada Solusi?

Para pedagang kini berharap ada kebijakan lebih berpihak pada mereka. Mereka mengusulkan tarif kios diturunkan menjadi Rp50.000 per bulan dan tarif hamparan menjadi Rp30.000.

“Kami hanya ingin tetap berdagang untuk menghidupi keluarga. Jangan sampai kebijakan ini justru membunuh usaha kami,” pinta Jalil dengan penuh harap.

Sementara itu, pihak DP Pasar menyatakan siap mengevaluasi tarif, tetapi tetap mempertimbangkan target pemasukan yang telah ditetapkan.

Polemik ini masih jauh dari kata selesai. Akankah ada solusi yang bisa menguntungkan kedua belah pihak? Atau para pedagang harus terus berjuang menghadapi kebijakan yang mereka anggap mencekik? Semua mata kini tertuju pada langkah Pemerintah Kota Makassar dalam menyikapi kisruh ini.**