KISAH kesetiaan dan perjuangan Riri Robiani dalam mendampingi suaminya, Yasir Al Habsyi yang mengidap penyakit gagal ginjal, viral di media sosial dan menginspirasi bagi banyak orang. Tak sedikit yang terharu dan mengaku belajar dari kisah keduanya.
Riri Robiani adalah seorang kreator konten, ia juga kerap kali membagikan keseharianya saat menemani sang suami yang kini sudah tak lagi bekerja.
Yasir diketahui, rutin menjalani cuci darah seminggu dua kali karena penyakitnya tersebut. Lebih dari 900 kali Riri telah mendampingi suaminya untuk cuci darah selama sembilan tahun.
Yasir mengungkapkan, ia baru mengetahui mengidap gagal ginjal setahun setelah menikah, setelah mengalami gejala seperti cegukan, pembengkakan tubuh, dan sesak napas.
Setelah mendapat diagnosa tersebut, Yasir mengaku sempat berpikiran untuk mengembalikan Riri kepada keluarganya.
“Aku sayang sama Riri. Aku gak mau orang yang aku sayang ikut menderita. Mumpung masih baru (menikah) mumpung masih muda juga. Gak apa-apa kok aku mengalah. Yang penting orang yang aku sayang bisa bahagia. Lihat dia bahagia aja aku sudah senang,” terang Yasir.
Apa jawab Riri? “Waktu aku obrolin pertama kali dia malah marah-marah,” jelasnya. Riri pun menjawab, “Ujian harus dijalanin jangan dihindarin. Ayo aku temenin sakitnya!”
Riri mengatakan tidak ingin meninggalkan suaminya itu. Ia menegaskan bahwa tujuannya menikah untuk ibadah dan siap menghadapi apa pun yang terjadi dalam rumah tangganya.
“Yasir adalah suami yang sangat baik, nyaris sempurna. Jadi, tidak ada alasan untuk ditinggalkan,” ungkapnya.
Kisah tersebut membuat banyak pihak, seperti stasiun televisi, hingga dr Richard Lee (podcast), mengundang keduanya untuk wawancara.
Bahkan dr Richard menghadiahkan bea siswa untuk anak Riri dan Yasir yang kini masih TK, untuk sekolah hingga meraih sarjana kedokteran. Inilah yang membuat Riri menangis.
Tak hanya itu, MD Pictures selaku rumah produksi, tertarik untuk menjadikan kisah inspiratif mereka sebagai film.
Lalu apa standar kebahagiaan bagi Riri? “Kalau aku ingin bahagia, turunkan standar bahagia itu. Kalau tinggi kita susah bahagia,” jelasnya.
Ia melanjutkan, “jangan membuat patokan rasa syukur kita pada nikmat orang lain. Nanti kita akan selalu merasa kurang. Karena rasa syukur itu akan mencukupkan segala yang kurang. Serta selalu berpikir positif kepada Allah,” jelasnya.
Bagaimana menurut Anda? (Nursalim Turatea).