MabesNews.com, Jakarta-PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (“MAMI”) mengatakan pasar finansial Indonesia menunjukkan potensi yang menarik hingga akhir tahun.
Inflasi yang menurun, upah yang meningkat, dan belanja kampanye diharapkan dapat mendorong konsumsi domestik lebih tinggi di sisa tahun ini.
Sementara itu, kondisi perekonomian Amerika Serikat (AS) yang resilien dan inflasi yang terus melandai menciptakan sentimen positif bagi pasar, menopang harapan terjadinya soft landing, dimanainflasi terus turun namun resesi dapat dihindari.
Pandangan tim investasi MAMI ini disampaikan secara daring pada Selasa (15/8) dalam acara Market Update: No Harsh Landing dengan mnampilkan narasumber Ezra Nazula,Director & Chief Investment Officer, Fixed Income, Dr. Katarina Setiawan, Chief Economist & Investment Strategist, dan Samuel Kesuma, CFA, Senior Portfolio Manager, Equity.
Pasar global dan Asia.
Ezra mengatakan, “untuk mengatasi inflasi tinggi, sejak awal tahun 2022, bank sentral di kawasan negara maju telah melakukan pengetatan suku bunga paling agresif di era modern.
Kabar baiknya, paruh kedua tahun ini diperkirakan akan menjadi babak akhir dari siklus kenaikan suku bunga seiring dengan inflasi yang kian melandai mendekati targetnya.
“Kita lihat angka inflasi di AS, Uni Eropa, dan Inggris yang pada akhir tahun 2022 sebesar 6,5%, 9,2%, dan 10,2%, kemudian pada akhir Juni 2023 telah turun tajam menjadi 3,0%, 5,5%, dan 7,9% secara berurutan.” ujarnya.
Ezra menjelaskan bahwa tahun 2023 menjadi dinamika tersendiri bagi perekonomian di AS dan juga Asia, khususnya China. Proyeksi pertumbuhan AS di tahun 2023 terus direvisi naik seiring data ekonomi yang resilien.
Produk domestik bruto (PDB) AS di kuartal dua tumbuh 2,4%, lebih tinggi dari ekspektasi (1,8%) dan PDB di kuartal satu (2,0%). Selain itu, indeks manajer pembelian (PMI) AS di sektor jasa konsisten berada di zona ekspansi dan sektor tenaga kerja juga tetap kuat.
” Di sisi lain, ekonomi yang resilien memberi tantangan bagi bank sentral, karena inflasi lebih persisten dan suku bunga bertahan tinggi lebih lama. Lembaga pemeringkat Fitch Ratings pun menurunkan peringkat kredit AS dari AAA menjadi AA+. Hal ini disebabkan oleh penurunan yang berkelanjutan dalam standar tata kelola dan masalah plafon utang AS,” kata Ezra.
Berbeda dengan AS, proyeksi pertumbuhan ekonomi China lanjutnya justru terus direvisi turun sejak Mei 2023 seiring data ekonomi China yang lebih rendah dari ekspektasi. PDB kuartal dua China yang sebesar 6,3% lebih rendah dari ekspektasi 7,3%.
“Selain itu, penjualan ritel hanya tumbuh 3,1% di bulan Juni 2023, PMI sektor manufaktur di zona kontraksi dan PMI sektor jasa juga terus melemah. Program stimulus pun menjadi harapan untuk menopang momentum pemulihan ekonomi China,” rincinya.
Secara umum, kondisi inflasi dan kebijakan suku bunga di kawasan Asia relatif lebih kondusif dibandingkan di kawasan negara maju. Pada mayoritas negara Asia, inflasi telah mencapai target bank sentral dan inflasi terus menjinak, membuka ruang pemangkasan suku bunga.
Di sisi lain, selisih suku bunga dengan Fed Funds Rate yang menyempit menjadi faktor yang membatasi ruang gerak bank sentral kawasan Asia. Pelonggaran prematur dikhawatirkan dapat mempengaruhi stabilitas nilai tukar. “Langkah kebijakan bank sentral Asia diperkirakan akan menunggu arah perubahan dari The Fed,” terang Ezra (tiar)