MabesNews.com, DALAM 20 tahun terakhir ini, tepatnya awal tahun 2000-an, penelitian neuropolitik mulai berkembang seiring munculnya alat-alat pencitraan otak (neuroimaging), seperti fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging).
Kalau kata Pakar Neurosains dari Indonesia, Dokter Ryu Hasan, neuropolitik adalah disiplin ilmiah tentang hubungan otak dan politik, mengungkap kompleksitas proses seseorang menentukan pilihan dalam pemilu. Juga membahas mengenai politik dari sudut pandang sains.
Ryu kemudian memaparkan tiga isu utama dalam konteks keinginan bebas dalam berpolitik. Yakni rigidity (kekakuan), flexibility, serta plasticity di mana manusia terbentuk sepanjang manusia tersebut hidup.
Lantas, bagaimana kita menghadapi masa kampanye yang penuh dengan informasi, misinformasi, dan disinformasi melalui berbagai kanal media?
Damar Susilaradeya, Doktor Neurosains, Dokter, dan Aktivis Kebijakan Kesehatan di IMERI Fakultas Kedokteran UI dan Kementerian Kesehatan, dalam artikelnya menulis.
Dengan adanya aktivasi cepat dari amigdala, sadar ataupun tidak, mau tidak mau, emosi kita akan terpicu ketika menerima suatu informasi terkait pasangan calon tertentu. Emosi primer manusia, seperti marah, senang, sedih, jijik, dan kaget, bisa bangkit seketika itu.
“Jika sudah merasa seperti itu, mari mengambil waktu beberapa detik untuk mengolah informasi tersebut di otak korteks prefrontal kita,” sarannya.
Caranya, periksa kebenarannya. Dengan kata lain, kita bisa ”memutar tombol volume emosi” dan meredakannya dengan otak rasional kita.
“Merayakan pemilu dengan otak berarti merayakan hak pilih kita dengan rasa dan logika,” jelasnya.
Bagaimana menurut Anda? (Nursalim Turatea)