Mengimani Takdir Karya Nursalim,M.Pd, Ketua Ikatan Wartawan Online Indonesia Provinsi Kepulauan Riau

Prov. Kepri56 views

MabesNews.com, Malam itu, 6 Desember 2024, pukul 20.25 WIB, aku duduk di kursi 15B pesawat Super Air Jet. Dari Bandara Internasional Hang Nadim, Batam, pesawat ini akan membawaku ke Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Namun, perjalanan ini bukan sekadar perjalanan fisik dari satu tempat ke tempat lain. Dalam setiap detik perjalanan ini, aku merasakan sebuah perjalanan batin yang jauh lebih dalam, lebih bermakna.

Langit malam di luar jendela pesawat gelap, dihiasi bintang-bintang yang berkilauan seperti berlian di atas permadani hitam. Pesawat ini terus melaju, menembus kegelapan malam, semakin mendekat pada tujuan. Namun, apa sebenarnya tujuan itu? Jakarta hanyalah sebuah pemberhentian sementara. Tujuan yang lebih dalam adalah pencarian ilmu yang tak berujung, sebuah perjalanan yang telah lama aku mulai dan akan terus aku lanjutkan sampai waktu memanggilku.

Di usiaku yang kini 54 tahun, aku sering kali dihantui oleh pertanyaan yang menyentuh hati. “Kenapa kamu masih mengejar ilmu, Anto? Bukankah usiamu sudah cukup untuk berhenti mencari?” Pertanyaan itu seringkali datang, seperti angin malam yang merayap dingin ke dalam jiwa. Namun, meskipun suara keraguan itu hadir, aku tahu jawabannya dengan jelas. Dalam keyakinanku, menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban yang tak mengenal batas usia. Sebuah perjalanan yang tak pernah berhenti, bahkan di usia senja.

Seperti mutiara yang terpendam dalam lautan dalam, ilmu pun memerlukan perjuangan untuk ditemukan. Aku mengenang kata-kata ayahku, seorang ustaz yang sederhana di desa kecil di Jeneponto. “Jadilah seperti bintang di langit, meskipun jauh, sinarmu akan menjadi penunjuk arah bagi yang hilang,” ujarnya selalu. Kata-kata itu terukir dalam hatiku, mengingatkanku bahwa meskipun banyak hal yang telah kulalui, aku tetap harus berusaha memberi sinar untuk orang lain.

Pesawat mulai menurun. Lampu-lampu kota Jakarta tampak seperti ribuan kunang-kunang yang berkelip di kejauhan. Sekitar pukul 22.30 WIB, aku tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Hiruk-pikuk kota ini langsung terasa begitu aku melangkah keluar dari pintu pesawat. Suara bising kendaraan dan langkah-langkah cepat orang-orang yang sibuk melintas menyambut kedatanganku. Setelah melewati keramaian di bandara, aku melanjutkan perjalanan menuju kos sederhana di kawasan Buncit Indah, Jakarta Selatan. Jalanan ibu kota yang tak pernah sepi mengingatkanku akan kesibukan hidup yang terus bergerak tanpa henti.

Sesampainya di kos, aku merasa sebuah ketenangan yang kontras dengan hiruk-pikuk kota yang baru saja kutinggalkan. Kamar yang sederhana dengan kasur tipis, meja belajar, dan sebuah lemari kayu tua, menjadi tempat peristirahatan malam ini. Aku merebahkan tubuh yang lelah, seakan-akan semua perjalanan panjang itu menghentikan aliran waktu sejenak. Namun, meskipun tubuhku kelelahan, pikiranku tetap terjaga, berkelana dalam lautan pemikiran yang tak terhingga.

Pagi hari, setelah melaksanakan sholat subuh, aku teringat pesan singkat dari Ratih, Ketua Jurusan yang sangat aku hormati. “Mengimani takdir,” begitu kalimat yang tertulis dalam pesan itu. Kalimat sederhana yang memberikan energi dan semangat baru, seakan menyentuh jiwaku yang sedang gundah. Aku teringat kata-kata itu saat kembali berbaring di kasur kecilku, membiarkan sinar matahari pagi Jakarta yang menembus jendela menyinari wajahku.

Aku tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya soal apa yang aku kejar di dunia ini. Ia adalah tentang meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup, baik yang manis maupun pahit, adalah bagian dari takdir yang telah ditentukan. Mengimani takdir berarti menerima dengan lapang dada, tidak menyerah pada cobaan, dan percaya bahwa setiap perjalanan pasti ada tujuan yang lebih tinggi di baliknya.

Aku memejamkan mata, mencoba menggapai ketenangan, namun bayangan Yanti, istriku, muncul dalam ingatanku. Wajahnya yang selalu penuh senyum, sikapnya yang penuh kasih, dan kata-katanya yang selalu memberi semangat. Yanti dan anak-anakku adalah alasan utama aku terus melangkah. Mereka adalah cahaya yang menerangi setiap langkahku dalam gelapnya hidup ini.

Aku membayangkan diriku di hadapan mereka, berbicara dengan penuh keyakinan: “Ilmu adalah warisan paling berharga yang bisa kita berikan. Dunia ini terus berubah, tetapi ilmu akan selalu relevan, akan selalu menjadi bekal yang tak ternilai.” Mereka adalah pendorong utamaku dalam setiap langkahku.

Aku membuka pesan dari Ratih, dan dengan penuh rasa syukur, aku membalas, “Siap, Bu. Doakan semoga langkahku membawa hasil yang bermanfaat.” Pesan itu tidak hanya sebagai bentuk penghormatan, tetapi juga sebagai komitmen bahwa perjuanganku ini bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk memberikan kontribusi positif bagi banyak orang.

Keesokan harinya, sebelum memulai aktivitas kuliah, aku memutuskan untuk berolahraga pagi. Udara pagi Jakarta, meskipun terasa panas dan padat polusi, tetap memberi energi baru. Aku berjalan menyusuri jalanan sepi di sekitar kos, menikmati keheningan yang jarang kutemui di kota sebesar ini. Setiap langkahku terasa lebih ringan, seolah memberiku semangat baru untuk memulai hari.

Langkah demi langkah, aku merenungkan perjalanan ini. Hidup ini adalah serangkaian langkah-langkah kecil yang, meskipun terlihat sederhana, memiliki makna yang dalam. Melalui olahraga pagi ini, aku menyadari bahwa hidup, seperti tubuh ini, memerlukan perawatan dan perhatian. Setiap perjuangan yang kulakukan, baik itu menghadapi tantangan fisik maupun mental, adalah bagian dari takdir yang harus aku jalani dengan penuh kesadaran dan semangat.

Setelah selesai berolahraga, aku kembali ke kos, siap untuk menghadapi tugas-tugas yang menantiku. Pikiran tentang takdir dan tujuan hidup selalu menghantuiku, tetapi kini aku tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang mencapai tujuan akhir. Ini adalah tentang bagaimana kita berjalan, bagaimana kita menyikapi setiap langkah, dan bagaimana kita tetap teguh dalam keyakinan akan takdir yang telah ditentukan-Nya.

Mengimani takdir bukan berarti menyerah pada kenyataan, tetapi menerima setiap keputusan yang datang dengan penuh kesyukuran. Aku tahu, selama aku terus melangkah, selama aku terus berusaha dengan penuh kesungguhan, cahaya akan selalu ada, menuntun jalan hidupku. Tak ada yang sia-sia dalam perjuangan ini, karena setiap langkah yang kutempuh adalah bagian dari takdir yang harus kuterima dengan penuh kebesaran hati.

Dalam perjalanan ini, aku akan terus mencari mutiara-mutiara ilmu yang tersembunyi di antara tantangan hidup. Langkah-langkah kecil ini, meski tampak sederhana, mengarah pada tujuan yang lebih besar—tujuan untuk memberi manfaat bagi dunia, memberi arti bagi hidup, dan akhirnya kembali kepada-Nya dengan penuh kebahagiaan dan kedamaian.

Hidup ini, bagiku, adalah serangkaian langkah-langkah di atas awan, menuju cahaya yang tak pernah padam.