Menghadirkan Ketentraman Hidup Dalam Bermasyarakat dan Bernegara, Lewat Penemuan Kepastian Hukum

Mahyani Muhammad

(Mantan Deputi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) & Mantan Kepala Perusahaan Pengelola Aset (PPA- Negara), Wilayah Sumatera Bagian Utara (Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau)

———————————————————–

Lapangan Blang Padang Banda Aceh, Sebuah Permasalahan Kepemilikan

MabesNews.com, Diberbagai media, penulis terus membaca berita terkait dengan keberadaan lapangan Blang Padang Banda Aceh seluas 89.802 M2 (8,9 Ha), sebagai berita yang dipermasalahkan perihal kepemilikannya, sehingga berada pada lingkup pembahasan tentang kewenangan pengelolaannya. Yang menarik justru yang menjadi para pihak dalam permasalahan lapangan tersebut adalah institusi sebagai organ pemerintahan yang sah dan kredible secara kenegaraan, yakni Pemerintah Daerah Provinsi Aceh, Tentara Nasional Indonesia (TNI) Kodam Iskandar Muda dan Nazir Masjid Baiturrahman Banda Aceh.

Lapangan Blang Padang Banda Aceh pada satu sisi diberitakan sebagai tanah wakaf bagi Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, namun pada sisi lainnya sekarang dinyatakan sebagai hak pakai dan dikuasai oleh Tentera Nasional Indonesia (TNI) Kodam Iskandar Muda), sehingga Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mendesak Pj Gubernur Aceh guna dengan kebijakannya segera mengembalikan tanah wakaf tersebut kepada Nazir Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Petisi tersebut resmi bergemuruh di ruang Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Banda Aceh, kala juru bicara Badan Anggaran (Banggar) DPRA Irpannusir Rasman, berucap dalam forum rapat paripurna tentang penyampaian pendapat Banggar DPRA terhadap Rancangan Qanun Aceh tentang Pertanggung Jawaban Pelaksanaan APBA 2023 yang berlangsung di ruang serbaguna, yang dipimpin oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Zulfadli, serta dihadiri oleh Pj Gubernur Aceh Bustami Hamzah beserta para Kepala SKPA, pada Senin tertanggal 15 Juli 2024.(1)

Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Republik Indonesia, lewat pemberitaan media disinyalir telah berpendapat bahwa lapangan Blang Padang Banda Aceh, berawal dari perbuatan hukum Sultan Iskandar Muda selaku Sultan Kerajaan Aceh yang membeli areal persawahan rakyat tersebut serta mewakafkannya kepada Masjid Raya Baiturrahman. Landasan juridis diketengahkan berdasarkan peta blad Nomor 310 Tahun 1906 dan peta Koetaradja tahun 1915 yang tertulis ‘Aloen-Aloen Kesultanan Aceh, maka lapangan Blang Padang tidak pernah dikuasai oleh Koninkklijk Nederlands Indische Leger (KNIL), bahkan sampai dengan saat ini pun dengan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang RTRW Kota Banda Aceh, Blang Padang ditetapkan sebagai Kawasan terbuka hijau.(2)

Materi perihal tersebut dengan gamblang telah terwarta beritakan, seperti perihal lapangan Blang Padang Banda Aceh yang disebut telah terdaftar sebagai aset pemerintah Aceh pada Kartu Inventaris Barang (KIB), dengan Registrasi 0001 dan Kode Barang 01.01.13.01.12, sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2016. Serta pemerintah Aceh telah melakukan penelusuran data tentang lapangan Blang Padang ke Netherlands Belanda pada Maret 2023, serta ditemukan buku “De Inrichting Van het Atjehsche Staatsbestuur Onder Het Sultanaay” yang ditulis oleh Karel Frederik Hendrik Van Langen, pada tahun 1888 dan peta penguasaan Belanda di Aceh tahun 1875, yang memaparkan bahwa lapangan Blang Padang dan Blang Punge merupakan umeung musara (tanah wakaf) dari Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, serta peta penguasaan Belanda di Aceh tahun 1875.(3)

Pada lain sisi, bahwa lapangan Blang Padang Banda Aceh menjadi salah satu catatan penting aset dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas Laporan Keuangan (LK) Pemerintah Aceh tahun 2023, karena BPK menyebutkan bahwa secara de fakto sekarang ini, lapangan Blang Padang Banda Aceh diklaim sebagai Tanah Milik Tentara Nasional Indonesia (TNI) Kodam Iskandar Muda, sehingga lapangan Blang Padang ditandai dengan pemasangan plang yang berbunyi ‘Tanah Ini Milik TNI-AD’. Permasalahan lapangan tersebut telah berlangsung sejak 20 tahun berlalu, yakni kala Aceh sedang berada dalam masa Darurat Militer, sehingga kewenangan pemerintahan berada dalam kendali Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) disekitaran ruang waktu tahun 2003.

Permasalahan kepemilikan lapangan tersebut kembali hangat pada tahun 2018, sehingga Pangdam Iskandar Muda Mayor Jenderal TNI Abdul Hafil Fuddin melakukan press realise pada Senin 7 Mei 2018, yang menyatakan bahwa lapangan Blang Padang Banda Aceh merupakan milik TNI-AD KODAM Iskandar Muda. Beliau juga menyatakan bahwa secara aturan militer, semua aset yang ditinggalkan oleh Belanda atau tempat yang pernah dipergunakan oleh Gubernur Hindia Belanda mutlak menjadi milik TNI tanpa kecuali, termasuk Pendopo Gubernur Aceh, Anjong Mon Mata, Museum Aceh.(4)

Penyelesaian yang masih berlarut, dengan masing-masing para pihak mengetengahkan landasan catatan sebagai pertimbangan, sehingga Pemerintah Aceh yang dalam sebuah kesempatan pernah menyampaikan bukti-bukti yuridis, sedemikian juga dari pihak TNI yang bernaung di bawah Kementerian Pertahanan menyampaikan sanggahannya lewat surat Sanggahan Departemen No. B/1251/09/27/847/Ditkon tanggal 14 Desember 2009 dan Surat TNI AD Kodam IM No. B/1945/XII/2009 tanggal 15 Desember 2009 disertai lampiran dasar hukum penguasaan tanah tersebut, menampakkan kenyataan yang hingga tulisan ini penulis perbuat, harap penyelesaian dengan lahirnya kebijakan yang berkepastian hukum belum tampak kepermukaan.

Gambaran Permasalahan Juridis Antar Para Pihak

Permasalahan kepemilikan atas lapangan Blang Padang, menyangkut perihal hak atas sebidang tanah atau permukaan bumi, yang dengan keberadaan tersebut akan melahirkan kewenangan sebagai perbuatan hukum yang sah dengan segala implikasi perbuatan atau aktifitas lainnya, maka perihal status kepemilikan atas tanah memiliki urgensi yang sangat penting.

Kepemilikan tanah lahir dari pemberian hak oleh Negara kepada pemegang hak, baik pemegang hak tersebut secara personal atau badan, yang terdiri dari beberapa klasifikasi hak, dengan Hak Milik sebagai hak terkuat, dan seluruh hak mana tergambarkan dengan Sertifikat Hak sebagai pemenuhan azas hukum.

Manusia sebagai makhluk hidup sosial (zoon politikon), tak mungkin dapat menjalankan kehidupan di permukaan bumi ini secara sendiri tanpa ketergantungannya dengan antar sesama makhluk lainnya, baik dalam pengertian hidup sempit (dengan manusia lainnya), maupun dalam pengertian luas (dengan badan/lembaga dan alam kehidupan), maka negara sebagai pemegang otoritas dalam lingkup kebidupan berbangsa dan bernegara harus menata dalam segala lingkup kehidupan sehingga kehidupan menjadi teratur dan bermakna.

Pada sisi lain manusia Indonesia sebagai masyarakat sebuah bangsa yang berpijak pada falsafah Pancasila, sebagai sumber dan filosophi sebuah bangsa yang merdeka, akan terikat pada pemenuhan kerangka format kehidupan, baik dipandang dari sisi ajaran keyakinan sebagai hamba Tuhan dipermukaan bumi, maupun dipandang dari sisi keberadaan ketentuan negara sebagai warga kenegaraan yang memiliki kedudukan hukum yang sama, serta dari sisi keberadaan masyarakat dengan kultur budaya dan adat tertentu, yang seluruhnya di jamin keberadaannya oleh negara.

Seluruh pandangan tersebut harus dikaji dengan runtun dan seksama kala terdapat permasalahannya, dan harus diselesaikan dengan cepat dan tepat serta penuh kearifan, dengan tidak boleh mengedepankan emosional sehingga sasaran kehidupan yang bersandarkan pada aturan ajaran keagamaan dan kenegaraan serta budaya adat saling tertekan, yang berakibat terjadinya gemuruh dendam antar anak bangsa, maka kehidupan yang dicita-cita kan sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 sebagai sumber segala sumber hukum tak tergapai dengan sempurna.

Permasalahan lapangan Blang Padang Banda Aceh, dalam pandangan penulis akan menjadi sesuatu yang sangat krusial jika hasrat penyelesaiannya tidak segera ditangani, sehingga keberadaan kepemilikan yang sah secara hukum terus mengambang dan akan menjadi materi berita yang akan dapat dimainkan pada nuansa-nuansa tertentu secara politik. Penulis berpandangan bahwa permasalahan tersebut menyangkut 3 (tiga) dimensi yang krusial, yakni lingkup hukum ajaran keagamaan yang dipandang sebagai harta waqaf dan menjadi kewenangan sebagai kepemilikan hak dari Masjid Baiturrahman Banda Aceh, lingkup aturan kenegaraan yang dipandang sebagai tanah negara, dengan Hak Pakai bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI) Kodam Iskandar Muda, serta sejarah keberadaan tanah yang terikat dengan peran Sultan Iskandar Muda yang bertindak dalam kedudukannya selaku Sultan Kerajaan Aceh.

Penulis sangat memahami kerisauan yang ada, yang mengalir laksana api dalam sekam di tengah rasa dan pemikiran masyarakat Aceh sekarang ini, maka pandangan dari sejumlah penulis dan para pewarta di berbagai media, baik di media resmi maupun media sosial menjadi perhatian, sehingga lahirnya tulisan ini dari penulis. Kerisauan sebagaimana yang diutarakan oleh sejumlah sahabat lewat berbagai media, serta utamanya kerisauan bagi Pemerintahan Aceh, Tentara Nasional Indonesia (TNI) Kodam Iskandar Muda dan Nazir Masjid Baiturrahman Banda Aceh pada satu pihak serta masyarakat Aceh sebagai masyarakat madaniah disisi lainnya, dalam harap penulis dapat segera selesai dengan hadirnya kepastian hukum lewat penyelesaian masalah yang bermartabat dan sesuai dengan koridor hukum dan peraturan itu sendiri.

Value atas Sasaran Sebuah Putusan/Kebijakan 

Kepastian hukum menjadi prinsip dan langkah utama dalam melahirkan ketenangan hidup bagi masyarakat, ia hadir dari keberadaan aturan hukum yang jelas dan benar, konsisten serta diperoleh dengan mudah. Karena itu pemerintahan sebagai pemegang otroritas dalam melahirkan dan menerapkan aturan hukum, dapat dengan konsisten berperan dan taat pada prinsip-prinsip kewenangan sejalan dengan aturan hukum itu sendiri.(5)

Pandangan tersebut memberi kesimpulan bahwa perilaku masyarakat dipandang dapat dihadirkan penerapannya sesuai dengan paradigma dan subtansi dari keberadaan aturan hukum itu sendiri. Hal tersebut sejalan dengan teori dari kepastian hukum yang realistic legal certainly, yakni kepastian hukum tersebut akan menghadirkan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka kepastian hukum sangat dibutuhkan dalam rangka lahirnya jaminan tentang keberadaan hukum bagi para pihak.

Penulis berpandangan bahwa dalam kepastian hukum tersebut akan termaktup rasa keadilan, walau ada pandangan ahli yang memandang bahwa ruang kepastian hukum memiliki dua permasalahan yang berbeda. Hukum memiliki karakteristik yang bersifat umum dan mengikat secara para pihak atau personal, sedangkan keadilan memiliki karakteristik bersifat subyektif/ individualistis sehingga tidak bersifat general.(6)

Penulis berpandangan bahwa kepastian hukum atas permasalahan lapangan Blang Padang Banda Aceh harus dihadirkan sebagai langkah pelaksanaan hukum yang sesuai dengan esensinya, sehingga ketenangan bagi para pihak dan masyarakat Aceh akan hadir karena telah hilangnya kesempatan gemuruh yang berkepanjangan dalam sebuah kehidupan untuk hidup bermasyarakat di bumi Serambi Mekkah. Sebagai kaum yang patuh pada sebuah nilai, maka masyarakat Aceh akan melangkah guna memahami nilai yang terkandung dari kepastian hukum, dengan menemukan korelasisi antara instrumen hukum positif dengan peranan negara yang diaktualisasikan dengan Keputusan oleh Pemerintah Aceh selaku penegak otoritas atas hukum.

Kala permasalahan lapangan Blang Padang Banda Aceh muncul kepermukaan, sehingga melahirkan firqah-firqah sebagai para pihak, maka nuansa perbedaan rasa atas keyakinan terhadap kepastian hukum itu mengalir tanpa dapat dibendung, berikut perilaku tertentu yang bias akan terstruktur dalam peran serta kehidupan, yang mengalir pada sebuah nuansa bias dalam kebersamaan, terlebih hilangnya gapaian ketenangan kehidupan karena hilangnya sikap saling menghormati antar sesama sebagai anak bangsa.

Hadirnya kepastian hukum menjadi sebuah formula yang penting, karena akan memberi gambaran tentang keabsahan pihak yang berwenang guna penerapan hak dan kewenangan atas lapangan Blang Padang Banda Aceh, yang hadir karena telah mengikat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam perspektif keberadaan subjek hukum, yang menjadi para pihak kala permasalahan hukum muncul ke permukaan, dengan berbagai ragam lingkup permasalahan kehidupan masyarakat Aceh sebagai makhluk hidup yang bersosial dengan nuansa madaniah, maka hukum memandang bahwa para pihak tersebut berada dalam kesetaraan, yang oleh hukum itu sendiri tidak menempatkan pihak manapun dalam posisi bargaining yang berbeda, terlebih dalam pendekatan etik moral dan ajaran keyakinan bahwa penentu kebijakan dalam menghadirkan kepastian hukum untuk kehidupan manusia, dipandang sebagai kepanjangan tangan Tuhan, yang dipastikan akan diminta pertanggung jawaban di yaumil akhir nanti.

Para pihak yang menjadi subjek permasalahan, dalam penyelesaian sengketa hukum menjadi para pihak, yang bertindak untuk dan atas kepentingan personal dan atau badan hukum, yang dalam lingkup keberadaan badan hukum itu sendiri, dapat hadir dalam kepentingan ruang privat dan atau dalam ruang publik. Maka terkadang adanya lembaga atau organ kenegaraan, yakni lingkup pemerintahan tertentu dapat menjadi subjek hukum dalam posisi selaku para pihak yang terperangkap dalam sebuah permasalahan hukum itu sendiri, seperti permasalahan lapangan Blang Padang Banda Aceh, maka kini kita temui adanya dari lembaga atau organ kenegaraan itu sendiri yang menjadi penggugat dan atau tergugat dalam upaya mencari kebijakan atau putusan hukum untuk lahirnya kepastian hukum.

Dalam perspektif tersebut, negara menjadi sebuah instrument yang memiliki otoritas untuk menentukan kebijakan lewat putusannya sehingga melahirkan kepastian hukum bagi para pihak atas segala sesuatu yang diperdebatkan, dan dengan kebijakan tersebut tampak konsistensi paradigma/azas dan norma perundang undangan telah dijalankan dengan baik pada sisi keberadaan hukum itu sendiri, dan pada sisi keberadaan negara akan tampak kewibawaan negara dengan otoritasnya serta pada lini ke beradaan para pihak akan menemukan

Format Alat Bukti dalam Pijakan Juridis.

Hukum Acara sebagai patron bagi pemegang otoritas guna menghadirkan sebuah kebijakan, selayaknya menjadi pegangan kala permasalahan perihal lapangan Blang Padang Banda Aceh diselesaikan, yang terdiri dari lima pointers sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata, yakni alat bukti surat, alat bukti saksi, alat bukti persangkaan, alat bukti pengakuan, dan alat bukti sumpah.(7)

 Alat Bukti Surat

Surat dalam perspektif tertulis, sebagai sesuatu format tanda-tanda bacaan yang diperbuat untuk penyampaian pikiran, komitmen tentang sesuatu, sehingga pengertian surat dapat dimaknai dengan serangkaian modelnya, termasuk akta sebagai sebuah tulisan dengan adanya tanda tangan, sehingga memperjelas sebuah peristiwa sebagai dasar lahirnya hak dan kewajiban atau perikatan.

Pasal 1868 KUHPerdata memetakan perihal akta sebagai akta autentik yakni akta yang dibuat dalam format sebagaimana yang ditata oleh perundang-undangan dan dihadirkan di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu. Sedangkan Pasal 1874 KUHPerdata memetakan perihal akta yang dibuat secara dibawah tangan, yakni yang ditandatangani di bawah tangan, maka ia berupa surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

 Alat Bukti Saksi

Saksi sebagai sebuah keterangan dari pihak ketiga, yang terlepas dari kaitannya dengan pihak berperkara, yang secara personal mengalami dan mengetahui serta memahami dengan jelas dan runtun atas sebuah peristiwa menjadi materi permasalapangan.(8)

Pasal 1909 KUHPerdata mengatur perihal syarat para saksi, yang point syarat tersebut menerangkan bahwa semua orang yang cakap untuk menjadi saksi wajib memberikan kesaksian, sepanjang tidak terpenuhi aturan Pasal 1910 dan Pasal 1912 KUHPerdata yakni perihal orang yang dilarang sebagai saksi.

 Alat Bukti Persangkaan

Pasal 1915 KUHPerdata, sebagai kesimpulan yang oleh undang-undang hadir atas sebuah peristiwa yang diketahui umum ke suatu peristiwa yang tidak diketahui umum. Persangkaan yang lahir berdasarkan Undang-Undang dan persangkaan yang lahir dari luar aturan undang-undang, sebagaimana termaktup dalam pasal 173 HIR. Persangkaan tersebut menjadi dipertimbangan bagi pemegang otoritas atau hakim kala mempertimbangkan suatu perkara, sebagai persangkaan yang seksama, terikat dan bersesuaian dengan yang lainnya, sehingga menjadi kesimpulan guna diambil atas sesuatu kejadian/ keadaan yang telah terbukti. Sementara pasal 1916 KUHPerdata menerangkan perihal persangkaan berdasarkan undang-undang yang dihubungkan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu berdasarkan ketentuan undang-undang.

 Alat Bukti Pengakuan

Pasal 174, 175, dan 176 HIR (9) menjadi landasan juridis perihal bukti pengakuan, yang dalam pasal 174 HIR dan penjelasannya diterangkan bahwa pengakuan dapat diklasifikasikan atas pengakuan di muka hakim dan pengakuan di luar sidang (pasal 175). Pengakuan menjadi sebuah alat bukti, baik sebagai pengakuan yang diucapkan sendiri maupun melalui kuasanya, dianggap sebagai bukti yang cukup dan mutlak. Pengakuan di luar sidang juga dianggap sebagai bukti yang bebas, yang mana kekuatan pembuktian dari pengakuan ini diserahkan kepada pertimbangan dan pendapat pemegang otoritas atau Hakim dalam menentukan keputusannya.

Pengakuan tersebut harus diterima secara bulat dan tidak dibenarkan untuk diterima secara parsial atau menolaknya sehingga akan merugikan pihak tertentu, kecuali mengenai orang yang berutang itu dengan maksud akan melepaskan dirinya, sebagaimana yang diatur dalam pasal 176 HIR. Pada sisi lain sebagaimana yang termaktup dalam pasal 1926 KUHPerdata, mematronkan bahwa pengakuan yang diberikan di hadapan penentu otoritas atau Hakim tidak dibenarkan untuk dicabut kecuali bila dibuktikan bahwa pengakuan itu diberikan akibat suatu kekeliruan.

 Alat Bukti Sumpah

Termaktup dalam pasal 1929 KUHPerdata yang mengatur perihal sumpah, dan membedakan sebagai sumpah yang diperintahkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain untuk pemutusan suatu perkara (sebagai sumpah pemutus atau decisoir eed) dan sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatan kepada salah satu pihak (sebagai sumpah tambahan atau suppletoir eed yakni sumpah yang disampaikan jika alat bukti yang diajukan tidak mencukupi dan dilakukan atas perintah hakim, atau Sumpah penaksir/ aestimatoire eed yang secara khusus diterapkan untuk menentukan berapa jumlah nilai ganti rugi atau harga barang yang digugat oleh penggugat).

Sumpah menjadi alat bukti hukum sebagai pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dalam harap agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu berhadapan dengan rasa takut karena resiko sebagaimana aturan ajaran keyakinan jika berbohong, yang rasa takut tersebut dianggap sebagai daya pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya.(10)

Langkah Pemerintah Daerah pada Maret 2023, menghunjuk Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset (BPKA) dan Kepala Badan Perencanaan Daerah (BAPEDA) Provinsi Aceh menuju ke Netherlands Belanda, melakukan penelitian ke Leiden Library pada Leiden University, menjadi sebuah kebijakan yang tepat dalam pemahaman penulis, sebagai upaya pencarian data guna menempatkannya sebagai bukti juridis dalam memetakan kebijakan untuk penyelesaian sengketa lapangan Blang Padang Banda Aceh.(11)

Keberadaan Tim Pencari Data dengan hasil yang dicapai dalam kerjanya untuk perolehan data tersebut, bagi penulis akan dapat ditempatkan sebagai bagian pihak terkait (utama) dengan mengkaji serta menentukan posisi data tersebut sehingga dapat dan atau tidak untuk dihadirkan sebagai alat-alat bukti juridis. Panulis memandang bahwa beberapa kriteria dari alat bukti juridis, telah dapat di lekatkan pada keberadaan Tim Pencari Data tersebut, walau penulis memahami bahwa domain tersebut ada pada pemegang otoritas.

Dalam Manajemen Pengambilan Keputusan dikenal dengan lingkup kajian permasalahan secara runtun dan jelas, serta lingkup kajian sebagai landasan berfikir, baik secara juridis formal maupun sosiologis dan lainnya, sehingga penentu kebijakan dapat menempatkan permasalahannya, berikut dengan data yang telah dipilah secara jernih dan akurat serta landasan normative yang mengatur tentang perihal tersebut. (12)

Langkah Tim pencari data ke melakukan penelitian ke Leiden Library pada Leiden University, Netherlands Belanda pada Maret 2023, sesuatu yang sangat bermakna karena akan dapat didudukkan posisi permasalahan lapangan Blang Padang Banda Aceh, dengan segala probalitasnya untuk sebuah keputusan sehingga kepastian hukum dapat digapai dengan melekatnya rasa keadilan secara maksimal.

Langkah Pilihan Penyelesaian

Permasalahan hukum atas kepemilikan lapangan Blang Padang Banda Aceh telah menjadi sebuah isu yang berkembang sangat liar karena telah menjadi materi pembicaraan di tengah-tengah kehidupan masyarakat luas sekarang, yang dalam pandangan penulis sesuatu yang tidak indah, karena lingkup kasusnya dapat menggiring negative image bagi sebuah budaya kehidupan masyarakat madaniah pada bumi Serambi Mekkah.

Dalam perspektif hukum dan sosiologis, dikenal dengan penyelesaian masalah lewat jalur litigasi dan komersial atau sering disebut dengan penyelesaian non litigasi, yang biasa dikenal dengan lembaga alternatif penyelesaian sengketa, yakni penyelesaian permasalapangan hukum ditempuh lewat langkah yang berada di luar peradilan.

Diantara model penyelesaian tersebut dikenal dengan arbitrase, sebagaimana yang diatur dengan Undang Undang No. 30 Th 1999, dan atau dengan berbagai model penyelesaian lainnya, seperti konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli, yang penjabarannya dapat kita pahami berikut ini : (13)

 Negosisi, sebuah format dengan proses musyawarah atau perundingan yang lahir dari inisiasi para pihak sendiri, dengan tanpa bantuan pihak lain, guna mencari pemecahan yang dianggap paling bijak dan adil oleh para pihak itu sendiri. Langkah negosiasi sangat familiar dalam kultur ketimuran, khususnya Indonesia yang lewat falsafah Pancasila menempatkan format mufakat dalam musyawarah, guna melahirkan kebijaksanaan sebagai hasil kompromi (compromise solution).

 Konsultasi, sebuah format dengan proses yang bersifat personal antara pihak konsultan dan para pihak, dalam peran konsultan mengetengahkan tawaran solusi kepada para pihak dalam rangka penyelesaian permasalahan. Konsultan hadir memberikan pandangan hukum, sebagaimana yang dibutuhkan oleh para pihak, yang proses lanjutan perihal keputusan mengenai penyelesaian masalah tersebut ditindak lanjuti oleh para pihak.

 Mediasi, sebuah format dengan proses perundingan dari para pihak dengan bantuan mediator, dengan target hadirnya solusi terbaik antar para pihak. Dalam format ini, kepiawaian mediator sangat diharapkan yang berpijak pada value sebagai penengah dengan tampil lewat ide-ide terbaiknya sebagai ragam alternatif dalam rangka penyelesaian permasalahan antar para pihak.

 Konsiliasi, sebuah format dengan proses penyelesaian permasalahan dengan melibatkan seorang pihak ketiga atau lebih, yang keberadaan pihak ketiga tersebut guna berperan menyelesaikan permasalahan. Format penyelesaian ini memiliki kemiripan dengan mediasi, yang membedakan yakni dalam konsiliasi memiliki aturan/hukum acara yang lebih formal jika dibandingkan dengan mediasi, yakni dengan adanya beberapa tahapan langkah, seperti penyerahan permasalahan kepada komisi konsiliasi, dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan dari para pihak, yang berdasarkan fakta-fakta tersebut, diolah dengan seksama, berlanjut dengan penyerahkan laporan komisi konsiliasi kepada para pihak disertai dengan kesimpulan guna penyelesaian sengketa.

Dalam berbagai kasus, format-format tersebut sering diperbuat walau adanya variable pengembangan, sehingga identik dengan Tim Ad Hoc (sebagai panitia khusus untuk sesuatu kasus) di lembaga format atau Tim Task Force (pemantauan dan penindak lanjutan penyelesaian masalah).

Permasalahan hukum lapangan Blang Padang Banda Aceh, menarik bagi penulis dan penulis berpandangan bahwa perbedaan pandangan sehingga dipandang sebagai permasalahan antar para pihak yang terlibat, dalam rangka mendudukkan status kepemilikannya dapat dengan bijaksana ditempuh lewat jalur non litigasi, yakni sebuah langkah penyelesaian diluar peradilan.

Jika permasalahan tersebut, bergulir ke ruang peradilan, maka sebuah ironi hadir di bumi Serambi Mekkah, yang dipandang oleh dunia sebagai keberadaan kultur masyarakat yang madaniah dengan mengedepankan syiar ke-Islaman, karena para pihak yang terlibat adalah satu keluarga besar sebagai masyarakat Aceh.

Pada lain sisi, panulis lebih menjastifikasikan sebuah sikap yang ksatria kala penyelesaiannya ditempuh lewat jalur non peradilan, karena permasalahan kebangsaan yang memiliki ruang dan bobot permasalahan tentang konflik Aceh saja bisa ditempuh dan diselesaikan lewat jalan mediasi yakni Kesepakatan Helsinky, maka sangat aneh rasanya jika permasalahan lapangan Blang Padang Banda Aceh tidak diketemukan lewat langkah penyelesaiannnya dengan penuh kemartabatan.

Dari beberapa format penyelesaian permasalahan sebagai mana penulis jabarkan diatas, layak menjadi pertimbangan bagi para pihak untuk memilik satu atau lebih diantaranya, sehingga permasalahan lapangan Blang Padang Banda Aceh tidak menjadi isu dan bola liar, yang digelindingkan dalam target-target politisasi lainnya, karena jika hal tersebut terjadi maka lingkup negative point akan tetap bersemayam dengan negative image Aceh secara menyeluruh bagi Aceh.

Kala format Mediasi atau Konsultasi ataupun Konsiliasi yang dipilih, maka peran Tim pencari data dan kajian fakta juridis yang telah pernah bekerja dan memperoleh data hingga ke Netherlands Belanda, yang melakukan penelitian ke Leiden Library pada Leiden University pada Maret 2023, layak dan harus ditempatkan sebagai pihak inti penyelesaian permasalahan tersebut, baik sebagai penengah dan atau sebagai pemilik sumber data, sehingga kebijakan terbaik, dengan sebuah kepastian hukum hadir secara berkeadilan sebagai esensi utama dalam kehidupan berbangsa dann bernegara.

Penulis, berpandangan bahwa Tim pemilik sumber data, hadir dalam peran yang penuh tanggung Jawab, dengan menjaga dan mempertahankan ketidak berpihakannya kepada para pihak manapun, tampil dengan itikad baik serta tidak mengorbankan kepentingan para pihak manapun, kecuali berpegang teguh pada prinsip kebenaran. Memelihara kebersamaan dengan baik, menghormati para pihak, menghindari dalam menggunakan tekanan, atau intimidasi/ paksaan terhadap pihak manapun, serta menghindari dari benturan kepentingan kecuali pada kepentingan menjaga martabat ke-Acehan dan ke-Indonesiaan, sejalan dengan hukum negara dan ajaran keyakinan.

Bireuen, Senin 22 Juli 2024.

(1) Muhammad Saman, Lapangan Blang Padang, Tanah Waqaf Masjid Raya Yang Dikuasai TNI, Redaksi | Editor: Muhammad Saman, Senin, 15 Juli 2024 | 23:18 WIB

(2) Idem

(3) Idem

(4) Muharjir Juli, Sengketa di Atas Tanah Musara Blang Padang, Muhajir Juli, March 11, 2023 Komparatif.ID/Muhajir Juli,

(5) Jan M. Otto berpendapat tentang langkah-langkah persyaratan guna hadirnya kepastian hukum.

(6) Sudikno Mertokusumo, pandangan tentang kepastian Hukum

(7) Sebagaimana yang termaktup dalam pasal 164 HIR dan atau pasal 284 RBG,

(8) Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso dalam Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia

(9) HIR (Herzeine Indonesisch Reglement) dan RBg (Rechtrglement Voor de Buitengewesten) sebagai hukum beracara dalam persidangan peradilan untuk perkara perdata dan pidana, yang diperuntuk bagi golongan hukum bumi putera dimasa kolonial Belanda, yang dirancang oleh Mr. HL. Wichers, diberlakukan berdasarkan Pasal II aturan Peralihan UUD 1945, jo. Undang Undang Darurat No. 1 th 1951.

(10) M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Cetakan ke-2, 2017

(11) Muhajir Juli, Sengketa di Atas Tanah Musara Blang Padang, Komparatif.ID/Muhajir Juli, March 11, 2023

(12) Mahyani Muhammad, Manajemen Pengambilan Keputusan, Medan, 2018

(13) Mahyani Muhammad, Hukum Bisnis/Komersial, paparan Teoritis dan Kajian Praktis, Medan 2015.