BANGKA BARAT, MABESNEW.COM. -Di tengah gejolak perekonomian yang melanda Indonesia, perhatian media seolah terfokus pada hal-hal yang tidak esensial, sementara masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan rakyat kecil terabaikan. Rabu (9/10/2024).
Kasus-kasus korupsi miliaran rupiah dan praktik ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak berkuasa justru sepi dari pemberitaan.
Sementara itu, masyarakat, terutama pelaku penambangan rakyat, terpaksa berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka di tengah tekanan yang kian meningkat.
Fenomena ini menciptakan ironi yang menyedihkan: para pekerja media, yang seharusnya berfungsi sebagai pengawas sosial (watchdog), justru terlihat lebih sering menyoroti aktivitas masyarakat lokal yang berusaha bertahan hidup.
Banyak berita yang muncul tidak menggambarkan kondisi sebenarnya, melainkan cenderung menyudutkan dan memperburuk citra masyarakat penambang.
Hal ini diungkapkan oleh Hendra, Ketua Forum Komunikasi Pewarta Warga Bangka Belitung (FKPW Babel) dan Wakil Ketua Aliansi Wartawan Muda Bangka Belitung (Awam Babel).
Menurut Hendra, aktivitas penambangan yang dilakukan masyarakat bukanlah tindakan kriminal, melainkan bagian dari usaha mereka untuk mencari nafkah.
“Mereka adalah masyarakat lokal yang hanya mencari makan demi menyambung hidup,” tegas Hendra.
Ia menekankan bahwa banyak lokasi yang mereka kerjakan, seperti Keranggan, Tembelok, dan Merbuk, tidak termasuk dalam kawasan terlarang untuk tambang rakyat.
Dengan peralatan tradisional, para penambang ini berusaha bertahan di tengah kesulitan ekonomi yang melanda.
Namun, dalam pandangannya, media lebih cenderung mengarahkan sorotan kepada aktivitas mereka, sementara banyak kasus besar yang melibatkan korupsi dan ketidakadilan dalam sektor pemerintahan justru terabaikan.
“Kita tahu ada banyak koruptor dan proyek-proyek yang bermasalah, tetapi sangat sedikit yang mau mempublikasikan fakta tersebut,” katanya.
Hendra juga menunjukkan bahwa meskipun ada peraturan dan sertifikasi untuk wartawan, tidak jarang pemberitaan yang muncul lebih berdasarkan opini pribadi daripada fakta yang mendidik masyarakat.
“Keberadaan kita sebagai pewarta harus bijaksana dalam melihat kondisi masyarakat. Kita perlu menyeimbangkan antara mengawasi penguasa dan melindungi masyarakat,” tuturnya.
Kondisi ini menciptakan ketidakadilan yang mencolok. Sementara pemberitaan mengenai kasus-kasus besar, seperti korupsi yang merugikan negara miliaran rupiah, jarang terangkat ke permukaan, berita mengenai pelaku penambangan rakyat terus digencarkan, meski mereka berjuang untuk bertahan hidup.
“Pewarta seharusnya lebih berfokus pada isu-isu yang lebih mendesak, bukan hanya sekadar menampilkan berita yang sensasional,” tambah Hendra.
Dia menekankan bahwa penegakan hukum yang tebang pilih ini hanya akan memperburuk situasi.
Jika masyarakat kecil terus-terusan dijadikan sasaran pemberitaan negatif, sementara pelanggaran besar oleh pihak berkuasa dibiarkan, maka kepercayaan publik terhadap media dan institusi penegak hukum akan semakin merosot.
Kritik juga ditujukan kepada organisasi pers yang, meskipun sudah ada sertifikasi untuk meningkatkan profesionalisme wartawan, tidak mengubah pola pikir dan praktik dalam pemberitaan.
Hendra berharap agar rekan-rekan wartawan kembali pada tugas awal mereka: memberitakan fakta dan membantu masyarakat memahami kondisi sebenarnya.
Melihat berbagai fenomena yang ada, sangat penting bagi media untuk berperan aktif dalam menyoroti ketidakadilan dan mendesak penegak hukum untuk bertindak.
Hanya dengan cara itu, masyarakat dapat merasa terwakili dan mendapatkan keadilan yang layak mereka terima.
Dalam konteks ini, harapan untuk perubahan tetap ada. Dengan kerjasama yang baik antara media, masyarakat, dan penegak hukum, diharapkan akan tercipta iklim pemberitaan yang lebih seimbang dan adil, demi kesejahteraan rakyat banyak. (Tim)