Memandang Tukang Las Bagian Rakyat Pancasila

Pemerintah240 views

MabesNews.com | Medan – Memandang anggota Tukang Las bagian Rakyat Pancasila sesuai pandangan Bung Karno yang menyebut ―tukang gerobak sebagai marhaen. Sebab, si tukang gerobak punya alat produksi, tetapi tidak menyewa pembantu (tenaga kerja) dan tidak punya majikan yang terikat. Mereka kerja berbagi upah sesuai tanggung jawab dan kompetensinya.

Penemuan ajaran Bung Karno: Tenaga kerja Marhaen dipandang sebagai marhaenismemerupakan lambang pekerja dari penemuan kembali kepribadian nasional bangsa Indonesia. Atau, istilah lainnya, teori yang disusun sesuai konteks historis dan kekhususan masyarakatIndonesia. Hingga kita sadari Marhaen yang mupakan Akar Pancasila bukan jatuh darilangit sebagai sebuah ilham.

Tapi hasil pergumulan teoritis dan observasi, hingga teori ini terus mengalami pengembangan dan penyimpulan penyimpulan yang adaftif sebagai cara pandang Indonesia memperlakukan Tenaga Kereja untuk kebutuhan Nasional maupun Internasional.

Bung Karno mendefenisikan Marhaen sebagai berikut: seorang marhaen adalah seorang yang mempunyai alat produksi kecil; seorang kecil dengan alat produksi kecil, dengan alat-alat kecil, mampu memenuhi kecukupan Negeri dan dirinya sendiri (bukan Kelompok).

Karena Soekarno selalu memberi penekanan pada istilah marhaen ini dengan perkataan―kaum melarat Indonesia‖, dapat diartikan Pekerja Indonesia/Jasa produksi kecil berkemestian difasilitasi Negara agar bangkit seperti Pantare.

Dalam perkembangannya, Soekarno mulai adaftif memasukkan proletar sebagai bagian dari Marhaen Indonesia. Pada tahun 1960-an, Soekarno menyebut kaum Marhaen itu terdiri dari tiga unsur: unsur kaum miskin proletar Indonesia (buruh), unsur kaum tani melarat Indonesia, dan unsur kaum penjual jasa melarat Indonesia lainnya.

Walau kita kenal adaftif, Kolaborasi dasar Pengembangan bagian kebutuhan politik saat itu, yakni menyatukan seluruh kaum tertindas Indonesia ke dalam sebuah persatuan revolusioner atau sering disebut, ―sammenbundeling van alle revolutionaire krachten”.

Tinjauan Bung Karno, terhadap proletar yang populer di Eropa, kurang tepat untuk menjelaskan kategori-kategori yang disebut marhaen itu. sebab, bagi Soekarno, istilah proletar orang yang tidak punya hasil produksi dan, karena itu, menjual tenaga kerjanya pada orang lain/majikan.

Dan ia menerima upah dari menjual tenaga kerjanya berbeda dengan Marhaen yang mengutamakan kemandirian. Bung Soekarno juga mengakui hal itu. Tapi carapandang Soekarno, bagian terbesar dari kaum tertindas Indonesia bukan proletar, melainkan yang masuk kategori Marhaen konsiten dengan Pancasila.Bung Karno Menyadari Kolonialisme ala Belanda di Indonesia membawa dampak, Kaum Penjajah datang ke Indonesia berlagak bak saudagar, yang suka untuk memaksakan menerapkan monopoli ciri khas Kapitalis, hingga VOC melakukan pemaksaan dan perampasan.

Mirip dengan akumulasi primitif dalam masyarakat pra–kapitalis. Merampasbarang dagangan -khususnya rempah-rempah dan kemudian dijual di pasar internasional. Sisi lain kapitalis Belanda yang menanamkan modalnya di Indonesia, Hak pekerja ditentukan oleh Pemodal, hingga Bung Karno menyebut imperialisme Belanda itu sebagai ―finance capital.

Kita Merasakann sebagian besar kapital itu jatuhnya di sektor Pertanian/perkebunan (hampir 75%), dan hanya menghasilkan onderneming-onderneming: onderneming teh, onderneming tembakau, onderneming karet, onderneming kina, dan lain sebagainya.

Jelas yang dominan adalah kapitalisme pertanian. Sejarah membuktikan perkembangankapitalisme yang demikian, bukan hanya menghasilkan proletar murni, tapi kapitalisme pertanian ini menghasilkan susunan sosial masyarakat paling banyak merupakan kaum tani yang melarat.

Perkembangan kapitalisme di Indonesia, seperti juga di negara-negara duniaketiga lainnya, tidak mengarah pada ―negara industri modern‖. Yang terjadi, neoliberalisme justru menciptakan fenomena ―deindustrialisasi‖. Pengidentifikasian Tukang marhaen dalam susunan masyarakat Indonesia yang mayoritas rakyat Indonesia untuk terjun dalam perjuangan anti-kolonial dan menuju sosialisme yang nasional.

Kebutuhan keutamaan pemahaman Kemenaker menyambut Bonus geografi Indonesia. Secara umum Tenaga Kerja di Indonesia belum terasa memiliki ciri yang khas dengan jati diri anak bangsa. Hal inj mengakibatkan tenaga kerja selalu pengangguran kisaran 4%-6%. Kalau ditelusuri maka tenaga kerja belum berani memiliki kompetensi Profesi yang dapat diandalkan untuk dipercaya.

Selain kompetensi kerja, juga ditemui kendala spirit dan kecekatan sikap yang lemah. Tenaga kerja hanya berpikir hari ini tanpa persiapan stamina, strategi dan pedoman kerja yang mumpuni dan diharapkan malah yang segera berlalu, tetapi menjauhi berpikir mengejar hari esok yang harus digapai.

DPN PERKASA Sumatera Utara yang kini beranggotakan 300 orang, DPN Perkasa berharap perlakuan tukang Las yang berminat kerja ke korea selatan, dan Tenaga Magang dan tenaga Kerja ke Jepang, selalu mengutamakan pikiran sebagai berikut:

Pertama, Pekerja Indonesia dipercaya pemilik kerja produksi kecil, cikal bakal untukbergontong Royong/Kolaborasi mengelola Produksi Besar. Oleh karena itu pekerja akan tumbuh mandiri dan penuh tanggung jawab dan berkemestian kerja saling menguntungkan sesama teman seperjalanan.

Kedua, untuk kerja Produksi bagian kecil berdayakan usaha agar mampu mempekerjajakan orang lain, menambahi alat perkakas untuk produksi kecil hingga dapat dikerjakan dengan tenaga sendiri (plus keluarga).

Ketiga, bukan satu orang tenaga kerja jadi pusat produksi, tapi pusat produksi tetap ada pada pekerja. Sedangkan dipilih pekerja tertentu untuk di tuakan hanya sebagai fasilitator dan dinamisator.

Keempat, hasil jasa dan produksi selalu kompetitif untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri sendiri dan keluarganya.

DPN PERKASA merupakan Bedeng para Tukang dan baru berdiri sejak 17 Meri 2019. Kini terasa bagi Tukang, walau singgah sesaat para tukang selalu diberikan inspirasi yang menggembirakan meraih hari esok penuh semangat. Dengan berbagai cara dan pola Para Tukang diberdayakan.

Perberdayaan oara anggota jauh dari sikap kapitalis, tapi mengutamakan kegontong royongan, hingga kala berhadapan dengan BUMN yang belum memiki pola yang sama, sering terjadi miskomunikasi. BUMN yang diharapkan negara sebagai soko guru ekonomi, belum mampu menciptakan iklim merakyat.

Hingga anggota DPN PERKASA tertinggal dalam Obsesi maupun kescepatan sigap sebagai Pekerja yang dibutuhkan. Untuk memberdayakan para anggota maka dibutuhkan keberanian menyinggung kapitalis dengan sistem magang, atau kontrak kerja tapi dengan pola mengedepankan prinsip Pancasila.

Negosiasi dan kolaborasi berbagai pihak dengan tujuan pasti menaikkan SDM lebih profesional, mengantisipasi bonus geografi angkatan tenaga kerja. Masyarakat senantiasa butuh pencerahan agar mampu berpikir hari esok pasti cerah bagi tenaga kerja dengan pola Marhaenisme Indonesia. Dengan demikian rakyat akan bersinergi penuh dialektika menambah semangat kebersamaan hingga tenaga kerja Indonesia menjadi tuan terhadap dirinya, Profesinya, dan hasilnya.

(Martin Sembiring, S.T;M.T, Ketua PBW DPN PERKASA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *