Kontroversi Tata Kelola Wilayah Pesisir di Kabupaten Bintan: Sertifikat SHGB dan SHM Dipertanyakan

MabesNews.com, Tanjung Pinang, 28 Januari 2025 – Kondisi betonisasi di wilayah pesisir Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, memicu polemik serius terkait regulasi penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Hak Milik (SHM). Sejumlah pihak mempertanyakan legalitas dan proses penerbitan sertifikat tersebut, terutama di kawasan yang sebelumnya merupakan hutan mangrove.

 

Seorang saksi yang mengetahui awal mula perubahan fungsi hutan mangrove di kawasan tersebut mengungkapkan bahwa pembabatan mangrove dilakukan oleh salah satu pengusaha ternama di Tanjung Pinang dan Bintan. Lahan tersebut kemudian ditimbun dan dijadikan pemukiman atau tempat usaha, yang menimbulkan pertanyaan besar tentang legalitas dan dampaknya terhadap lingkungan.

 

Persoalan ini sebenarnya telah dilaporkan ke DPR-RI dan sejumlah pihak terkait, namun hingga saat ini belum ada tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah tersebut. Menurut sumber terpercaya yang identitasnya dirahasiakan, kelompok konsorsium yang terlibat dalam proyek ini diduga memiliki jaringan kuat dan mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hal ini membuat upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran di kawasan tersebut menjadi terhambat.

 

Wilayah pesisir adalah aset bersama yang harus dilindungi, bukan malah diperjualbelikan untuk kepentingan pihak tertentu. Seorang pemerhati lingkungan mendesak pihak berwenang, termasuk Kapolri dan Kejaksaan Agung, untuk segera turun tangan mengusut dugaan penyalahgunaan wewenang yang terjadi.

 

Sumber terpercaya menuturkan bahwa pelanggaran tata ruang di Kabupaten Bintan memiliki keterkaitan dengan Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) Pemkab Bintan. Tata ruang yang seharusnya mengatur pemanfaatan lahan sesuai dengan fungsinya justru dilanggar demi kepentingan kelompok tertentu.

Lahan yang ditimbun ini sempat viral beberapa waktu lalu karena diduga dibekingi oleh oknum polisi berinisial HS. Hal ini menambah kompleksitas persoalan, mengingat adanya campur tangan pihak-pihak tertentu yang seharusnya menjaga netralitas dan keadilan.

Pembabatan mangrove dan reklamasi lahan untuk kepentingan bisnis tidak hanya merusak ekosistem pesisir, tetapi juga mengancam keberlanjutan lingkungan bagi generasi mendatang. Mangrove memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem, mencegah abrasi, dan menjadi habitat bagi berbagai jenis biota laut.

Ketika wilayah pesisir dikuasai oleh pihak tertentu secara ilegal, masyarakat kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik bersama. Ini adalah bentuk ketidakadilan yang harus segera diakhiri.

Berbagai pihak mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk mengambil langkah tegas dalam menyelesaikan masalah ini. Penegakan hukum yang transparan dan adil menjadi kunci untuk mengembalikan fungsi wilayah pesisir sesuai dengan peruntukannya. Selain itu, diperlukan pengawasan yang lebih ketat terhadap penerbitan sertifikat lahan, terutama di kawasan strategis seperti wilayah pesisir.

Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa tata kelola lingkungan tidak boleh dikorbankan demi kepentingan ekonomi semata. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga penegak hukum sangat diperlukan untuk memastikan wilayah pesisir tetap terjaga sebagai aset bersama yang berkelanjutan. (ARF).