MabesNews.com, Bintan – Peraturan ketenagakerjaan Indonesia yang dirancang untuk melindungi hak-hak pekerja menghadapi tantangan serius di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Galang Batang, Bintan. Subkontraktor yang beroperasi di bawah PT. Bintan Alumina Indonesia (BAI) diduga melakukan pelanggaran terhadap Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021.
Salah seorang karyawan yang identitasnya minta untuk tidak dipublikasikan mengungkapkan adanya berbagai pelanggaran, mulai dari absennya perjanjian kerja tertulis, ketidaksesuaian jam kerja, hingga pembayaran upah yang tidak memadai. Dugaan ini tidak hanya merugikan pekerja tetapi juga mencerminkan lemahnya pengawasan dan implementasi regulasi oleh perusahaan induk dan pihak berwenang.
Subkontraktor PT. BAI dilaporkan sering merekrut pekerja tanpa memberikan perjanjian kerja tertulis, suatu tindakan yang melanggar PP Nomor 35 Tahun 2021 Pasal 14 ayat 1, yang mengharuskan perjanjian PKWT dibuat secara tertulis di atas kertas. Tanpa dokumen resmi, pekerja kehilangan landasan hukum untuk menuntut hak-hak dasar mereka, seperti jaminan kecelakaan kerja dan perlindungan jaminan sosial.
Tidak adanya perlindungan ini berdampak serius pada kesejahteraan pekerja. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan harus menghadapi risiko tinggi tanpa kompensasi yang sepadan. Praktik ini mencerminkan kurangnya komitmen dari subkontraktor terhadap standar ketenagakerjaan yang diatur dalam undang-undang.
Pekerja melaporkan jam kerja yang melebihi batas maksimum yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 77 hingga Pasal 85. Sebagai contoh, salah satu subkontraktor memaksa pekerja untuk memulai aktivitas sejak pukul 05.30 hingga 17.30 WIB, atau sekitar 12 jam sehari, tanpa tambahan upah lembur.
Ketentuan dalam undang-undang menetapkan jam kerja maksimal 7 jam per hari untuk 6 hari kerja atau 8 jam per hari untuk 5 hari kerja, dengan total maksimum 40 jam per minggu. Ketidakpatuhan terhadap aturan ini mencerminkan eksploitasi tenaga kerja yang berpotensi melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Upah harian sebesar Rp 150.000 tanpa tunjangan makan atau jaminan sosial dinilai tidak manusiawi mengingat beban kerja yang berat. Kondisi ini jauh di bawah upah layak untuk pekerjaan di sektor industri yang berisiko tinggi. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa kesejahteraan pekerja sering kali dikesampingkan demi efisiensi biaya perusahaan.
Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang mendominasi posisi mandor juga menjadi sorotan. Banyak dari mereka tidak memahami Bahasa Indonesia, sehingga menyulitkan komunikasi di lapangan. Padahal, regulasi mewajibkan TKA untuk mematuhi ketentuan yang menjamin kehadiran tenaga kerja lokal sebagai prioritas utama.
Sebagai perusahaan induk, PT. BAI diduga lalai dalam mengawasi operasional subkontraktornya. Lemahnya pengawasan dari Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bintan turut memperparah situasi. Ketidakmampuan instansi terkait untuk memastikan kepatuhan terhadap undang-undang ketenagakerjaan menciptakan celah yang dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengabaikan hak-hak buruh.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, langkah-langkah berikut perlu segera diambil:
Peningkatan pengawasan oleh PT. BAI dan pemerintah daerah sangat diperlukan untuk memastikan regulasi dijalankan secara konsisten. Penegakan hukum dengan memberikan sanksi tegas terhadap pelanggaran akan memberikan efek jera kepada pihak yang melanggar. Selain itu, perlindungan hak-hak pekerja melalui perbaikan sistem ketenagakerjaan harus menjadi prioritas agar prinsip keadilan sosial dapat diwujudkan.
Dugaan pelanggaran ini tidak hanya mencoreng reputasi PT. BAI sebagai pengelola KEK, tetapi juga mengindikasikan perlunya reformasi menyeluruh dalam tata kelola ketenagakerjaan di wilayah tersebut. Diharapkan semua pihak yang terkait segera mengambil langkah konkret untuk menciptakan lingkungan kerja yang adil, aman, dan sejahtera bagi semua pekerja.
(Nursalim)