Kenaikan PPN 12 persen bisa berbuntut panjang, di antaranya daya beli menurun

Berita, Prov. DKJ50 views

MabesNews.com, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Federasi Transportasi, Industri Dan Angkutan (DPP-FTIA) Efendi Lubis,Mengatakan Saat ini ekonomi masyarakat sangat terpuruk dampak dari pendapatan atau upah yang hanya bisa utk kehidupan seadanaya Dan ditambah lagi belum adanya keputusan Pemerintahdalam hal ini Kemnaker RI, tentang besaran upah buruh utk tahun 2025, sementara Pemerintah telah menaikan Pajak Penanambahah Nilai (PPN), 12 persen, sesuai UU Nomor 7 Tahun 2021, ini tentunya sangat memberatkan masyarakat golongan menengah. masyarakat belum siap menghadapi atau menerima kebijakan ini. Hal yg sama demikian juga dengan apa yang dikatakan Direktur Center Of Economic’s (Ceelios) Bhima Yudhistira & & Dewan Pengupahan Nasional, Sarman Simangunsong Mengingatkan bahwa kenaikan PPN 12 persen bisa berbuntut panjang, di antaranya daya beli menurun, ancaman PHK sampai penghindaran pajak 19 November 2024. Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025 dengan disahkannya UU Nomor 7 Tahun 2021, namun baru akhir-akhir ini menimbulkan pro dan kontra termasuk dari DPR yang ikut merestui beleid tersebut.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang paling banyak disorot dan dianggap sebagai asal-muasal kebijakan menaikkan pajak itu. Ia pun menyatakan, bahwa rencana kenaikan itu harus dijalankan karena sudah diatur undang-undang. Kami perlu menyiapkan agar itu PPN 12 persen bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik,” kata Sri Mulyani beberapa waktu lalu. Menurut Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), manfaat dari peningkatan tarif PPN termasuk mengurangi ketergantungan negara terhadap pinjaman, kesempatan menurunkan beban utang, serta menyelaraskan kinerja pajak Indonesia dengan negara lain, mengingat tarif PPN Indonesia masih di bawah rata-rata tarif PPN global yang sebesar 15 persen. Namun sejumlah ekonom mengingatkan bahwa kenaikan PPN 12 persen bisa berbuntut Panjang, Sebelum diabetes menghancurkan pankreas sepenuhnya, baca terus! Sebelum diabetes menghancurkan pankreas sepenuhnya, baca terusmeski undang-undang yang mengatur kenaikan PPN disahkan setelah melewati pembahasan di DPR, Komisi XI menghujani pertanyaan pada Sri Mulyani dalam rapat di DPR pada 14 November 2024. Menteri Keuangan mengatakan kebijakan tarif PPN menyesuaikan mandat undang-undang. Artinya, kebijakan ini bakal diterapkan pada 1 Januari 2025. PPN Naik 12 Persen Tahun Depan, Kemenhub: Kemungkinan pro-kontra terhadap kebijakan ini langsung jadi perdebatan, namun Menkeu menegaskan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dijaga kesehatannya. Pada rapat itu, Sri Mulyani menjelaskan dengan tegas bahwa kebijakan perpajakan disusun dengan mempertimbangkan kondisi di berbagai sektor. Pengusaha Muhammadiyah Minta Pemerintah Batalkan Kenaikan PPN 12 Persen. Dalam konteks kenaikan tarif PPN, wacana disusun pada 2021. Salah satu cara yang dipilih Pemerintah pasca pandemi adalah menaikkan PPN. Berdasarkan catatan Karena itu, masuk akal bila menaikkan tarif PPN menjadi jalur cepat yang dipilih Pemerintah untuk mengukuhkan instrumen keuangan negara. Akan tetapi, kondisi ekonomi bergerak dinamis. Di antara banyak aspek yang mengalami pergeseran, kemampuan belanja masyarakat adalah salah satunya. Pertama, pada sisi ketenagakerjaan. Peralihan dari industri padat karya ke padat modal menyebabkan peningkatan jumlah pekerja informal akibat menurunnya penyerapan tenaga kerja. Sementara, bekerja di sektor informal berpotensi mengurangi kemampuan belanja. Pendapatan yang tidak stabil membuat konsumen menahan belanja karena mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar. Risikonya, penjualan barang sekunder bisa jadi terhambat. Kondisi itu tercermin pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Porsi belanja kelas menengah untuk makanan meningkat pada 2024 dibandingkan 2019, sedangkan pengeluaran untuk hiburan dan kendaraan menurun. Padahal, kelas menengah merupakan salah satu penopang serapan PPN dari sektor-sektor sekunder itu.

Kedua, jumlah belanja masyarakat menurun. Jumlah kelas menengah turun hampir 10 juta orang pada periode waktu tersebut. Bila kondisi ini terus berlanjut, makin banyak orang yang bakal lebih mengutamakan pengeluaran makanan, yang berarti jual beli di sektor sekunder pun akan makin tertekan.
Bhima Yudhistira mengatakan perluasan objek pajak lebih efisien berdasarkan perhitungannya, Pemerintah punya potensi bisa menjadi alternatif untuk kebijakan perpajakan.

(Efendi Lubis)