Oleh Nursalim Turatea
MabesNews.com, Di tengah padatnya jadwal dakwah dan tanggung jawab sosial, para muballigh di Kota Batam terus menjaga kebersamaan dan semangat silaturahmi melalui ruang komunikasi yang sederhana namun penuh makna. Salah satunya terlihat dalam sebuah percakapan hangat di grup WhatsApp yang menghubungkan para tokoh agama ini. Percakapan yang bermula dengan candaan ringan perlahan berkembang menjadi cerminan hubungan yang erat, penuh keakraban, dan sarat dengan nilai kebersamaan.
Percakapan tersebut diawali oleh Moddin Liwang, seorang anggota aktif, yang menulis dengan nada santai, “Tak ngajak-ngajak.” Sapaan ini, meskipun singkat, berhasil mengundang senyum dari anggota lain. Suyono Madani, yang dikenal dengan gaya bicara jenakanya, merespons cepat dengan menyebut, “Bude Kediri.” Candaan ringan ini seolah memecah suasana, membuat percakapan terasa lebih cair.
Namun, balasan dari salah satu anggota grup dengan nomor yang tidak dicantumkan nama menyelipkan humor yang lebih mendalam: “Tak bisa ngajak lagi karena dana makin menipis sudah dipakai Pilkada. ” Meski bernada jenaka, kalimat ini sekaligus mengingatkan pada tantangan finansial yang sering kali menjadi bagian dari realitas kegiatan sosial, termasuk dakwah.
Tak ingin percakapan berakhir di situ, Nursalim, seorang muballigh yang dikenal dengan kepribadiannya yang ramah, menyambung dengan sebuah ajakan yang penuh kehangatan: “Kapan kita ngopi, ketua? Lama tak bersua. ” Ajakan ini tidak hanya mencerminkan rasa kangen terhadap kebersamaan, tetapi juga menggambarkan pentingnya menjaga silaturahmi di antara para muballigh.
Suyono , yang tampaknya menyambut ajakan tersebut dengan antusias, merespons dengan cepat: “Boleh lah Batam Center. Boleh lah Buya.” Ucapan ini seolah menjadi sinyal bahwa ide untuk bertemu mendapatkan dukungan dari anggota grup. Percakapan pun semakin menarik ketika Utrianto, anggota lainnya, mengusulkan lokasi yang terkesan mewah dan eksklusif: “King’s Hotel, ketua. ”
Reaksi dari Suyono terhadap usulan ini mengundang tawa: “Bah… kelas tinggi tu.” Ucapan tersebut disambut dengan semangat oleh Nursalim yang menulis singkat: “Otw Bandara Sutta.” Tidak mau kalah, Utrianto kembali memberikan komentar penuh guyonan: “Tempatnya yang tinggi, ketua. ” Percakapan tersebut pun ditutup dengan kalimat bernada bangga dari Suyono , “Kelas nasional. Bukan sembarang orang ke situ.”
Di balik canda dan tawa ini, ada pesan mendalam tentang pentingnya menjaga hubungan persaudaraan di antara para muballigh. Suyono, yang memimpin Persatuan Muballigh Batam, tidak hanya menjadi sosok panutan dalam hal keagamaan tetapi juga simbol persatuan dan kebersamaan. Percakapan sederhana ini menunjukkan bagaimana para muballigh mampu menjaga hubungan personal di tengah tugas mulia mereka menyampaikan dakwah.
Makna Keakraban di Balik Percakapan
Percakapan santai ini juga mencerminkan betapa pentingnya keseimbangan antara tanggung jawab dakwah dan menjaga hubungan sosial. Dalam suasana yang serba santai, para tokoh ini tidak hanya menunjukkan solidaritas tetapi juga mendemonstrasikan bagaimana komunikasi dapat menjadi sarana untuk merajut tali persaudaraan yang lebih kuat.
Sebagai seorang ketua, Suyono tampaknya memahami betul bahwa kebersamaan adalah kunci keberhasilan sebuah organisasi. Grup WhatsApp ini menjadi medium yang efektif untuk mendukung komunikasi informal, yang pada akhirnya memperkuat hubungan formal dalam struktur organisasi.
Keakraban dan humor yang tercermin dalam percakapan ini menjadi bukti nyata bahwa dakwah tidak melulu tentang mimbar dan ayat-ayat, tetapi juga tentang menjalin hubungan yang tulus dengan sesama. Persatuan Muballigh Batam telah memberikan teladan bahwa kebersamaan, keakraban, dan semangat humor dapat menjadi landasan untuk terus memperkuat semangat dakwah di tengah masyarakat.
Dengan suasana yang penuh kehangatan seperti ini, tak heran jika Persatuan Muballigh Batam menjadi salah satu komunitas yang tidak hanya aktif dalam kegiatan keagamaan tetapi juga solid dalam menjaga tali persaudaraan antaranggota.