MabesNews.com ll Jakarta
Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 6 (Enam) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Selasa 29 April 2025.
Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Agus Handoko bin Wakino (Alm) dari Kejaksaan Negeri Ogan Komering Ilir, yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
Kronologi bermula pada hari Senin tanggal 10 Februari 2025, sekitar pukul 10.00 WIB, Saksi Solihin bin Suripto (Alm) (dalam berkas perkara terpisah) datang ke rumah Tersangka Agus Handoko bin Wakino (Alm) yang beralamat di Dusun V, Desa Catur Tunggal RT.001/RW.001, Kecamatan Mesuji Makmur. Saksi datang dengan mengendarai satu unit sepeda motor Honda Beat warna merah putih, dengan nomor polisi B 4466 FRN, nomor rangka MH1JM2123JK053781, dan nomor mesin JM21E2032986, tahun 2018, atas nama Nain, tanpa disertai dokumen kepemilikan berupa STNK maupun BPKB.
Adapun sepeda motor tersebut diketahui merupakan milik Saksi Korban Dadang Herman bin Husen, yang sebelumnya telah dipinjam oleh Saksi Solihin pada hari Minggu tanggal 9 Februari 2025.
Tanpa seizin dari pemilik sah, yaitu Saksi Korban Dadang Herman bin Husen, Saksi Solihin menawarkan sepeda motor tersebut kepada Tersangka dengan harga Rp2.000.000 (dua juta rupiah). Saksi Solihin juga menyampaikan bahwa pembayaran dapat dilakukan dengan menyerahkan handphone.
Tersangka yang tidak menanyakan dokumen kepemilikan karena telah diyakinkan oleh Saksi Solihin bahwa sepeda motor tersebut adalah miliknya hasil dari penjualan kebun orang tuanya, merasa tertarik. Terlebih, Tersangka saat itu membutuhkan kendaraan untuk aktivitas sehari-hari, termasuk untuk keperluan anaknya berangkat ke sekolah.
Akhirnya, Tersangka setuju melakukan transaksi dengan menyerahkan uang tunai sebesar Rp500.000 (lima ratus ribu rupiah) dan satu unit handphone merek Redmi warna hitam yang disepakati bernilai Rp1.000.000 (satu juta rupiah), sehingga masih terdapat kekurangan pembayaran sebesar Rp500.000 (lima ratus ribu rupiah).
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Ogan Komering Ilir, Hendri Hanafi S.H M.H., Kasi Pidum Indah Kumala Dewi S.H. serta Jaksa Fasilitator Liana Safitri, S.H. dan Ria Hamerlin, S.H., M.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Saksi Korban. Lalu Saksi Korban meminta agar proses hukum yang dijalani oleh Tersangka dihentikan.
Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Ogan Komering Ilir mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan Dr. Yulianto S.H M.H
Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Selasa, 29 April 2025.
Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap 5 (lima) perkara lain yaitu:
1.Tersangka Wayan Johan anak dari Nyoman Cig dari Kejaksaan Negeri Ogan Komering Ilir, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
2.Tersangka Sulaiman alias Entus dari Kejaksaan Negeri Ogan Komering Ilir, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
3.Tersangka Maha Tarip alias Ujang Gepek bin Tumpang dari Kejaksaan Negeri Banyuasin, yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-3 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan.
4.Tersangka Andi Dayumurti bin Sarwandi dari Kejaksaan Negeri Kulonprogo, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
5.Tersangka Atib alias Beler bin Isim (Alm) dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Tangerang, yang disangka melanggar Pasal 378 KUHP tentang Penipuan atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
* Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
* Tersangka belum pernah dihukum;
* Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
* Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
* Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
* Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
* Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
* Pertimbangan sosiologis;
* Masyarakat merespon positif.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum.
Red/S.Bahri
Jakarta, 29 April 2025
KEPALA PUSAT PENERANGAN HUKUM
Dr. HARLI SIREGAR, S.H., M.Hum.
Keterangan lebih lanjut dapat menghubungi
M. Irwan Datuiding, S.H., M.H. / Kabid Media dan Kehumasan
Dr. Andrie Wahyu Setiawan, S.H., S.Sos., M.H. / Kasubid Kehumasan
Hp. 081272507936
Email: humas.puspenkum@kejaksaan.go.id