Jakarta – Mabesnews.com
– 15 Maret 2024 – “Terusir dari Tanah Leluhur, Potret Kusam Masyarakat Adat Akibat Ketiadaan Undang-Undang”
‘Masyarakat Adat di Indonesia berada dalam titik kritis. Selama 1 dekade belakangan, telah terjadi erampasan wilayah adat sebesar 8,5 juta hektar dan 678 orang mengalami kriminalisasi dan kekerasan.
Pengaturan terkait Masyarakat Adat yang tidak lengkap, tidak tepat, tumpang tindih serta tersebar dan ersifat parsial di beberapa peraturan sektoral seperti Kehutanan,
Konservasi, agraria dan lainnya telah enjadi penyebab dari tidak terlindunginya Masyarakat Adat. Situasi ini telah menjadi ironi karena .nstitusi dan berbagai instrumen hukum tentang hak hak asasi manusia menempatkan Masyarakat Adat -bagai kelompok yang identitas dan hak-hak tradisionalnya harus diakui dan dihormati, dan bahwa epara memiliki kewajiban konstitusional untuk menghormati dan melindungi Masyarakat Adat.
Telah menjadikan Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 281 ayat (3) UUD 1945 yang mengatur khusus asyarakat Adat dan tanggung jawab negara terhadap Masyarakat Adat sebagai sekadar rangkaian kata k bermakna. Negara telah secara sadar bersikap diam dan mengabaikan serta mengambil jalan -nunda nunda kewajibannya untuk melakukan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat hak-hak tradisionalnya. Berlarut larutnya pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat njadi Undang-Undang adalah bukti yang tidak terbantahkan. Pengakuan negara adalah tuntutan yang :k lama disuarakan oleh Masyarakat Adat. Dan sejak tahun 2009, AMAN sebagai organisasi yang anggotakan komunitas-komunitas Masyarakat Adat telah melakukan berbagai upaya termasuk ‘ialog dengan negara agar segera membentuk UU Masyarakat Adat sebagai upaya untul ealisasikan tuntutan pengakuan dan perlindungan negara terhadap Masyarakat Adat.
15 tahun, sejak 2009 UU Masyarakat Adat tidak kunjung ditetapkan menjadi UU, AMAN di unitas Masyarakat Adat memilih untuk menggugat Presiden dan DPR RI karena dianggap tidak dilaksanakan tugas dan wewenang yang diberikan oleh UUD 1945 untuk membentuk UU, dalam hal masyarakat Adat.
Gugatan ini dilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan ini bertuju DPR RI dan Presiden RI melaksanakan kewajibannya memberikan pengakuan dan perlindungan ny .dap Masyarakat Adat.
Apa artinya situasi yang terjadi saat ini? Kami (Masyarakat Adat) terusir dan tersingkir dari tanah teluhur yang diwariskan ratusan bahkan ribuan tahun lalu, jauh Sebelum negara ini terbentuk.
Fakta tersebut tidak dipandang serius oleh negara, malah diperumit dengan persyaratan yang pada faktanya berimbas minimnya perlindungan dan pengakuan terhadap Kami,” tegas Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), salah satu pihak Pengugat selain 8 penggugat lainnya yang berasal dari komunitas Masyarakat Adat di Indonesia.
Sebagaimana diketahui bersama, proses gugatan Masyarakat Adat kepada DPR RI dan Presiden RI untuk segera membentuk Undang-Undang Masyarakat Adat telah memasuki tahapan pembuktian.
Untuk keperluan tahapan ini, dihadirkan bukti surat, saksi fakta dan juga keterangan ahli dari semua pihak untuk didengar oleh Majelis Hakim. Sebagai pihak Penggugat, selain AMAN, permohonan gugatan berasal dari komunitas Masyarakat Adat Ngkiong di Kabupaten Manggarai, Masyarakat Adat Osing di Banyuwangi, dan Masyarakat Adat O Hongana Manyawa, Halmahera.
Sedangkan saksi fakta berasal Masyarakat Adat Dayak Iban, Semunying Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat, perwakilan komunitas Dayak Tomun, Laman Kinipan Lamandau Kalimantan Tengah: Perwakilan Masyarakat Adat Rendubutowe, Nagekeo NTT, perwakilan Masyarakat Adat dari Manggarai, NTT, dan pendamping komunitas Masyarakat Adat O Hongana Manyawa Tobelo Dalam dari Maulu Utara.
“Apa yang kami alami, lihat, dengar dan ketahui sebagai saksi penting untuk didengar di muka persidangan
serta publik agar semua pihak mengetahui dan memahami bahwa konteks Masyarakat Adat bukanlah perihal sederhana.
Mengakui atau menghormati Masyarakat Adat bukan saja sekedar menghargai tarian, makanan, motif pakaian.
Tidak juga dengan menggunakan pakaian-pakaian adat dalam upacara kenegaraan semata. Lebih dalam dari itu, yang kami tuntut dan yang seharusnya dilakukan negara adalah pengakuan dan perlindungan terhadap identitas budaya dan hak-hak kami sebagai Masyarakat Adat termasuk diantaranya hak atas wilayah adat, dan hak untuk mengatur diri kami sendiri.
Pengakuan dan perlindungan ini tidak saja untuk keberlangsungan hidup kami sebagai Masyarakat Adat, tetapi juga menyangkut masa depan Indonesia yang beragam,” jelas Rukka Sombolinggi.
Hermina Mawa atau yang akrab dipanggil Mama Mince, seorang perempuan pejuang hak Masyarakat Adat dari Rendubutowe, Nagekeo NTT, menceritakan bagaimana dirinya mengalami tindakan represif aparat dan sempat diborgol ketika dirinya dan puluhan perempuan adat mencoba mempertahankan hak ulayat atas wilayah adat yang diambil secara paksa karena alasan proyek strategis nasional berupa pembangunan waduk. Dirinya sama sekali tidak menolak insiatif pembangunan pemerintah tersebut, akan tetapi lokasi pembangunan tidak pernah dibicarakan terlebih dahulu bersama masyarakat terutama menyangkut dampak dan kepastian hidup mereka.
“Tanah adat kami dirampas secara paksa tanpa pembicaraan. Kami sebagai perempuan merasa dinodai martabat karena mereka tidak pernah paham makna tanah bagi kami.
Tanah ulayat dibagi secara berkeadilan dan merata di dalam komunitas karena tanah tersebut dipastikan menjadi pusat kehidupan. tiap-tiap orang,” ujar Mama Mince.
Serupa dengan Mama Mince, saksi fakta lainnya yaitu Effendi Buhing dari Laman Kinipan Lamandau Kalimantan Tengah, menceritakan bagaimana dirinYa ditahan paksa dengan pengerahan pihak aparat ‘ secara berlebihan. Penahanan ini pun dilakukan dengan cara melawan prosedur penangkapan dan penahanan. Dirinya menjadi target penangkapan aParat atas dasar laporan perusahaan yang merasa terganggu oleh aksi penolakan warga. Kala itu dirinya Menjabat sebagai kepala desa.
“Tanah merupakan Ibu bagi kami. Dia tidak boleh dirusak. Tapi ketiadaan perlindungan atas wilayah adat melalui undang-undang menyebabkan pihak luar seenaknya masuk, merambah dan mengusir kami yang sudah ratusan tahun telah hidup di situ. Apa salahnya kami menolak?,” tanya effendi Buhimg.
Persoalan mendasar Masyarakat Adat sebenarnya menjadi perhatian AMAN sejak lama.
AMAN sendiri dideklarasikan oleh perwakilan Masyarakat Adat dari seluruh nusantara pada tahun 1999, salah satunya dilatari oleh kegelisahan terhadap perampasan wilayah-wilayah adat yang luas dan disertai dengan kekerasan negara. Sejak lama pula disadari bahwa salah satu penyebab utama dari hal tersebut adalah ketiadaan payung hukum yang mengakui dan melindungi Masyarakat Adat secara menyeluruh.
“Desakan agar negara membentuk UU Masyarakat pt bukanlah terjadi secara tiba-tiba. Sejak 1999 AMAN telah bersuara dan mencoba melakukan edukasi melalui berbagai dialog kepada institusi-nstitusi negara adan kepada publik.
Yang terjadi justru janji politik yang tak kunjung ditepati,” ungkap Abdon Nababan, mantan Sekretaris Pelaksana AMAN periode 1999-2003 dan Sekretaris Jenderal AMAN periode 2007-2017.
Di dalam paparannya, Abdon menjelaskan bagaimana sejarah, latar belakang dan proses upaya legislasi agar undang-undang Masyarakat Adat nyata terbentuk.
Proses dialog, lobi, penelitian dan bahkan uji publik, pengujian hukum dan masukan di dalam visi misi calon Presiden pada saat kontestasi Pilpres telah dilakukan untuk memperlihatkan bahwa ada kebutuhan mendesak agar undang-undang Masyarakat Ada segera dibentuk.
Namun upaya tersebut selalu mandeg, atau dapat dikatakan gagal, karena sebagi rancangan undang-undang yang telah menjadi program legislasi nasional (Prolegnas) tidak pernah dibahas bersama antara DPR RI dan Presiden RI.
“Kerugian yang dialami Masyarakat Adat tidak hanya terkait tanah dan ruang hidup, bahkan kadang berdampak terhadap hilangnya nyawa. Kami ada tapi seolah-olah tidak ada,” ujarnya.
Fatiatulo Lazira dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) selaku kuasa huk para Penggugat menambahkan pentingnya membangun kesadaran bersama dalam memandi: kompleksitas persoalan yang dihadapi Masyarakat Adat dan urgensi pembentukan UU Masyarakat Adat.
Perampasan wilayah, kriminalisasi, diskriminasi serta hal lain yang dilarang oleh prinsip-prinsip manusia namun terjadi pada Masyarakat Adat merupakan bentuk pengingkaran negara atas filos terbentuknya sebuah negara, yaitu untuk mensejahter akan setiap warga negaranya. Kesejahter harus selalu dipandang dari aspek ekonomi saja, lebih penting dari itu yaitu terpenuhinya pengakuan dan perlindungan bagi mereka. Barulah dapat dikatakan bahwa Negara hadir bagi mereka,” pungkas Fati.
Informasi tambahan:
Tentang Masyarakat Adat dan tantangan yang mereka hadapi selama 10 tahun terakhir dapat dibaca dan diunduh melalui dokumen kebijakan yang dikeluarkan AMAN pada tautan https://bit.y/3x1dRiD
Narahubung media:
1. Rukka Sombolinggi — Sekjend AMAN (08121060794)
2. Erasmus Cahhyadi — Deputi Sekjen AMAN untuk urusan Politik (081284280644)
3. M. Arman — Direktur Hukum dan Advokasi AMAN (081218791131)
4. Syamsul Alam Agus — Ketua Umum PPMAN (08118889083)
5. Fatiatulo Lazira — Koordinator Tim Kuasa Hukum Penggugat (08121387776). (JJ)