MabesNewscom, Bintan, Provinsi Kepulauan Riau – 2 Februari 2025 – Ketidakpatuhan dan kelalaian Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan, khususnya Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Bupati Bintan Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Pencairan serta Pengelolaan Dana Jaminan Pengelolaan Lingkungan (DJPL) dan Dana Kepedulian Terhadap Masyarakat (DKTM), kembali menjadi sorotan.
Dugaan penyimpangan terkait dana DJPL dari 44 perusahaan tambang di Bintan menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat dan aktivis lingkungan. Dana yang seharusnya disetorkan ke Bank PD BPR sebagai bagian dari kewajiban perusahaan dalam pengelolaan lingkungan, ternyata tidak terpantau dengan jelas alur penggunaannya. Padahal, kegiatan pertambangan di wilayah Kabupaten Bintan telah berlangsung dengan skala yang signifikan, mencakup berbagai wilayah, termasuk Kijang Kota, Sungai Enam Laut, Sungai Enam Darat, serta Batulicin.
Sebagian wilayah pasca tambang di Kabupaten Bintan memang telah mengalami reklamasi. Contohnya di Kijang Kota, di mana lokasi bekas tambang telah berubah menjadi kawasan hutan lindung. Namun, masyarakat mempertanyakan transparansi penggunaan dana DJPL, terutama terkait alokasi dana sebesar Rp168 miliar, yang hingga kini belum jelas peruntukannya.
Jika merujuk pada perhitungan kasar, wilayah tambang seperti Sungai Enam Darat sendiri memiliki luas hingga 300 hektar, yang dikuasai oleh perusahaan dengan izin resmi. Begitu pula di Batulicin dan Sungai Enam Laut, yang jika dikalkulasikan luasnya bisa mencapai lebih dari 300 hektar. Dengan luas wilayah tambang yang begitu besar, seharusnya terdapat anggaran yang cukup untuk reklamasi dan pemulihan lingkungan. Namun, kenyataannya, dugaan penyalahgunaan anggaran semakin menguat.
Dalam daftar perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut, beberapa nama besar muncul, seperti PT Kereta Kencana di Batulicin, serta PT Wahana dan PT Lutindo di Sungai Enam Darat. Terdapat indikasi bahwa perusahaan-perusahaan ini sebenarnya telah memenuhi kewajiban mereka dengan menyetorkan dana DJPL ke Kabupaten Bintan. Namun, pertanyaannya adalah, kemana dana tersebut disalurkan?
Dugaan penyalahgunaan dana DJPL ini semakin mengkhawatirkan ketika muncul spekulasi bahwa sebagian anggaran justru tidak digunakan sesuai peruntukannya. Ada kemungkinan bahwa dana tersebut tidak hanya disalahgunakan dalam lingkup daerah, tetapi bahkan mengalir ke luar negeri.
Jika benar dana sebesar Rp168 miliar telah dikumpulkan dari 44 perusahaan yang beroperasi di Bintan, seharusnya terdapat jejak yang jelas terkait penggunaannya. Apakah dana tersebut benar-benar digunakan untuk kepentingan reklamasi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, atau justru masuk ke kantong-kantong tertentu?
Ketiadaan transparansi dari pihak terkait semakin memperkuat dugaan bahwa ada permainan di balik distribusi anggaran ini. Pasalnya, jika dana tersebut digunakan sebagaimana mestinya, wilayah pasca tambang lainnya di Kabupaten Bintan seharusnya juga mengalami reklamasi yang optimal.
Kasus ini menegaskan perlunya pengawasan ketat terhadap pengelolaan dana lingkungan, terutama di sektor pertambangan yang memiliki dampak besar terhadap ekosistem dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Pemerintah pusat atau lembaga independen harus segera melakukan audit terhadap penggunaan dana DJPL di Kabupaten Bintan, guna memastikan tidak adanya penyimpangan atau korupsi.
Pemerintah daerah harus membuka informasi terkait pencairan dan alokasi dana DJPL kepada publik, sehingga masyarakat dapat mengawasi langsung penggunaan dana tersebut. Jika terbukti ada penyimpangan, aparat penegak hukum harus menindak tegas pihak-pihak yang terlibat dalam dugaan penyalahgunaan dana ini.
Dinas ESDM dan instansi terkait harus memperkuat pengawasan terhadap pelaksanaan reklamasi oleh perusahaan tambang, serta memastikan bahwa dana DJPL digunakan sebagaimana mestinya.
Dugaan penyimpangan dana DJPL di Kabupaten Bintan adalah isu serius yang harus segera diungkap dan ditindaklanjuti. Dengan luasnya wilayah pertambangan dan besarnya dana yang seharusnya tersedia untuk reklamasi, ketidaksesuaian dalam pencairan dan penggunaan anggaran ini menimbulkan pertanyaan besar tentang transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah.
Masyarakat dan berbagai pihak yang peduli terhadap lingkungan menuntut kejelasan terkait ke mana perginya dana Rp168 miliar tersebut. Apakah benar telah digunakan untuk reklamasi dan pemulihan lingkungan, atau justru menjadi bagian dari permainan anggaran yang tidak jelas ujungnya?
Pemerintah Kabupaten Bintan dan instansi terkait harus segera memberikan jawaban yang memuaskan kepada publik. Jika tidak, kasus ini berpotensi menjadi skandal lingkungan yang mencerminkan lemahnya pengawasan terhadap sektor pertambangan di Indonesia.
(Nursalim Turatea).