MabesNews.com, Tanjung Pinang – Dugaan penyimpangan anggaran di lingkungan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov Kepri) kembali mencuat. Tokoh muda Kepri, Andi Cori Patahudin, yang akrab disapa Cori, membeberkan adanya indikasi permainan anggaran pada lima Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, dari 2022 hingga 2024.
Kelima OPD yang menjadi sorotan adalah Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo), Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD), Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora), serta Biro Umum. Berdasarkan data yang dikumpulkan Cori, total alokasi anggaran untuk kelima OPD tersebut mencapai Rp 3,4 triliun.
Namun, ironisnya, sebagian besar anggaran itu diduga lebih banyak digunakan untuk kegiatan seremonial ketimbang program yang berdampak langsung terhadap pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Dugaan Anggaran Rawan Penyimpangan
Cori menyoroti pola penggunaan anggaran yang cenderung mengarah pada pemborosan dan potensi penyimpangan, terutama pada kegiatan rapat koordinasi, konsolidasi antar-OPD, perjalanan dinas, serta program-program administratif lainnya.
Ia mengungkapkan bahwa dalam setiap OPD terdapat puluhan kegiatan seremonial dengan nilai anggaran bervariasi, mulai dari ratusan juta hingga miliaran rupiah.
“Kegiatan seperti rapat koordinasi dan konsolidasi ini berpotensi menjadi bancakan anggaran bagi oknum pejabat terkait. Dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat justru digunakan untuk kepentingan tertentu, bahkan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya,” tegas Cori.
Sebagai contoh, ia mengungkapkan beberapa alokasi anggaran yang dianggap tidak efektif dan berlebihan:
BKAD mengalokasikan dana Rp 3,6 miliar pada 2022, Rp 2,8 miliar pada 2023, dan Rp 1,6 miliar di 2024 hanya untuk kegiatan Penyelenggaraan Rapat Koordinasi dan Konsultasi SKPD.
Koordinasi Penyusunan KUA dan PPAS juga menghabiskan anggaran cukup besar, yakni Rp 475 juta pada 2022, Rp 400 juta pada 2023, dan Rp 500 juta di 2024.
Penyediaan Administrasi Pelaksanaan Tugas ASN mencapai angka fantastis, yaitu Rp 11,8 miliar dalam kurun waktu tiga tahun.
Di Kesbangpol, anggaran yang digunakan untuk program koordinasi dan kebijakan di bidang politik juga dinilai berlebihan:
Kegiatan Pelaksanaan Koordinasi di Bidang Pendidikan Politik, Etika Budaya Politik, Peningkatan Demokrasi, dan Pemantauan Situasi Politik di Daerah menghabiskan Rp 93,1 miliar dari 2022 hingga 2024.
Kegiatan Pelaksanaan Kebijakan di Bidang Pendidikan Politik, Etika Budaya Politik, dan Pemilihan Umum/Pilkada bahkan mencapai Rp 106,8 miliar dalam tiga tahun.
Anggaran untuk Koordinasi di Bidang Kewaspadaan Dini dan Kerjasama Intelijen pun membengkak hingga Rp 13,7 miliar pada 2022 dan Rp 30,5 miliar di 2024.
Dugaan Mark Up dan Pembayaran Fiktif
Cori menduga bahwa pos-pos anggaran seremonial seperti ini kerap dijadikan ladang empuk bagi oknum tertentu untuk melakukan berbagai bentuk penyimpangan, termasuk mark-up dan pembayaran fiktif.
“Kegiatan ini sangat rawan terjadi mark-up harga dan bahkan ada potensi pembayaran fiktif, di mana kegiatan yang dilaporkan terlaksana, tetapi pada kenyataannya tidak sesuai dengan yang dilaporkan. Ini jelas merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan yang lebih prioritas bagi masyarakat,” ujarnya.
Dengan total alokasi anggaran Rp 3,4 triliun, Cori memperkirakan potensi kerugian negara akibat dugaan korupsi mencapai Rp 500-600 miliar dalam tiga tahun terakhir, atau setara dengan Rp 150-200 miliar per tahun.
Langkah Tegas: Melaporkan ke Mabes Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK
Atas temuan ini, Cori berkomitmen untuk membawa kasus ini ke ranah hukum. Ia menegaskan bahwa dirinya akan melaporkan dugaan penyelewengan anggaran ini ke Mabes Polri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Ini adalah uang rakyat yang dikumpulkan dari pajak dan kontribusi lainnya. Oleh karena itu, kita semua harus mengawasi penggunaannya agar tidak disalahgunakan. Saya akan melaporkan temuan ini dan mengawal prosesnya hingga tuntas,” ujarnya.
Ketika ditanya mengenai target utama dari laporan ini—apakah OPD yang diduga terlibat harus mengembalikan uang yang digunakan atau siap menjadi narapidana jika terbukti bersalah—Cori menegaskan bahwa tugasnya bukan sebagai penegak hukum, tetapi sebagai pengawas dan pelapor.
“Itu tugas Aparat Penegak Hukum (APH). Tugas kami adalah melaporkan dan mengawal sampai tuntas. Biarkan hukum yang berbicara,” pungkasnya.
Dampak Besar Terhadap Pembangunan Daerah
Jika dugaan ini benar, dampaknya sangat besar terhadap pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Dana yang seharusnya digunakan untuk proyek-proyek vital, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan peningkatan ekonomi rakyat, justru dialokasikan untuk kegiatan administratif yang minim manfaat langsung bagi masyarakat.
Kasus ini menjadi peringatan bagi seluruh elemen masyarakat untuk lebih aktif mengawasi penggunaan anggaran daerah, sekaligus menjadi ujian bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang di lingkungan pemerintah daerah.
Dengan langkah tegas yang akan diambil oleh Andi Cori Patahudin, kini publik menunggu respons dari aparat penegak hukum terhadap laporan ini. Apakah kasus ini akan diusut hingga tuntas? Apakah para pejabat yang terlibat akan mempertanggungjawabkan perbuatannya?
Hanya waktu yang akan menjawab. Namun, satu hal yang pasti, masyarakat tidak boleh diam. Sebab, uang negara adalah hak rakyat yang harus digunakan sebaik mungkin untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan bersama.
(Nur)