MabesNews.com, Jakarta-Dr Katarina Setiawan mengatakan meski The Fed masih menaikkan suku bunga, namun Bank Indonesia (BI) tetap mempertahankan tingkat suku bunga di level saat ini.
Ini antara lain disebabkan karena suku bunga saat ini dianggap cukup untuk menahan inflasi dan selisih suku bunga BI terhadap The Fed semakin menyempit. Pengendalian nilai tukar Rupiah dilakukan oleh BI melalui instrumen lain, seperti intervensi valuta asing – dengan menggunakan cadangan devisa dan program operation twist.
Pandangan tim investasi MAMI ini disampaikan secara daring pada Selasa (15/8) dalam acara Market Update: No Harsh Landing dengan mnampilkan narasumber Ezra Nazula Director & Chief Investment Officer, Fixed Income, Dr. Katarina Setiawan, Chief Economist & Investment Strategist, dan Samuel Kesuma, CFA, Senior Portfolio Manager, Equity
Sementara itu, lanjut Katarina tingginya surplus perdagangan sejak 2020 tidak serta merta mendorong peningkatan cadangan devisa. Kondisi ini menunjukkan keengganan eksportir untuk mengonversi dana hasil ekspor ke mata uang lokal karena tingkat suku bunga yang kurang atraktif.
Regulasi yang mewajibkan penanaman Dana Hasil Ekspor untuk jumlah minimum ekspor USD250.000 selama tiga bulan diharapkan meningkatkan likuiditas dolar AS di dalam negeri dalam jumlah cukup besar dan membantu menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah.
Katarina menambahkan, angka inflasi Indonesia masih menunjukkan penurunan lebih lanjut pada bulan Juni 2023 hingga kembali ke kisaran sasaran di level 3+1%, lebih cepat dari perkiraan semula. Realisasi ini menjadi yang terendah sejak 14 bulan lalu.
Kembalinya inflasi ke sasaran merupakan hasil konsistensi kebijakan moneter serta eratnya sinergi pengendalian inflasi antara Bank Indonesia dan pemerintah, baik di tingkat pusat dan daerah. Kebijakan saat ini dipandang BI cukup untuk membawa inflasi ke kisaran target inflasi 3±1% di 2023 dan 2.5±1% di 2024.
Indikator ekonomi Indonesia menunjukkan peningkatan aktivitas domestik. Hal ini ditandai oleh beberapa hal, antara lain tingkat keyakinan konsumen yang terjaga baik, sehingga dapat mendorong minat konsumsi masyarakat.
Selain itu, indikator investasi juga menunjukkan tren pemulihan dan BI mendukung penyaluran kredit dengan memotong RRR (reserve requirement ratio) untuk memenuhi kebutuhan dana dari berbagai sektor usaha. Di paruh kedua tahun ini, belanja pemerintah yang lebih tinggi serta mulai bergulirnya dana dari anggaran pemilu dapat meningkatkan konsumsi domestik, yang diharapkan mendukung pertumbuhan PDB Indonesia.
Dari segi risiko, investor perlu mencermati sejumlah hal. Pertama, dampak kebijakan bank sentral terhadap pertumbuhan ekonomi global dan kebijakan moneter negara berkembang. Kedua, faktor geopolitik yang bisa memunculkan ketidakpastian pada berbagai kebijakan dan dampaknya terhadap sentimen investasi.
Selain itu, jelang Pemilu, investasi dan belanja modal diperkirakan akan mengalami penurunan. Ketiga, harga komoditas yang diperkirakan akan mengalami normalisasi tentunya bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, dan defisit fiskal.
Di lain pihak, Katarina menjelaskan, kuatnya penerimaan pemerintah membuat defisit fiskal menurun (target defisit dipangkas Rp112 triliun ke 2,28% dari PDB dari sebelumnya 2,84% dari PDB). Karena defisit fiskal menurun sedangkan surplus kas (SAL) masih tinggi, maka penerbitan surat utang pemerintah untuk pendanaan defisit fiskal juga dipangkas, total sebesar Rp289,9 triliun.
” Akibat penerimaan fiskal yang kuat dan terkendalinya penambahan utang, maka rasio utang terhadap penerimaan pemerintah menjadi menurun. Hal tersebut dapat mendukung daya tarik pasar finansial Indonesia,” ujar Katarina.(tiar)