DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM

MabesNews.com, Prof. Dr. Ir. Chablullah Wibisono, MM-Guru Besar UNIBA, Ketua FKUB Batam, WAKETUM MUI Kepri, WK FKUB Kepri dll

I. Latar Belakang Demokrasi di Indonesia

Mencermati sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia mulai dari zaman kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk disimak fenomena yang terjadi. Seperti yang kita ketahui bersama , negara kita ini menganut sistem pemerintahan demokrasi, yang berarti segala sesuatu mengenai pengambilan keputusan atau semua yang menyangkut mengenai pemerintahan berada di tangan rakyat. Tetapi apakah pada kenyataan dan praktiknya demokrasi di Indonesia benar-benar berjalan maksimal dan sesuai dengan harapan rakyat? Terlebih sebagai Muslim tentu semua perbuatan didasarkan atas ajaran Islam (Al Qur’an dan Hadist). Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Indonesia menganut sistem demokrasi parlementer. Dimana adanya multi partai politik dan sangat mendominasi pemerintahan. Pada masa itu, kabinet berada di bawah pimpinan perdana menteri. Demokrasi parlementer hanya brejalan selama kurang lebih 9 tahun, yaitu dari tahun 1950-1959 dengan pergantian kabinet sebanyak 7 kali. Dalam hal ini, kita dapat menghitung dengan jelas bahwa masa jabatan kabinet sangat singkat dengan rata-rata waktu menjabat hanya sekitar 1 tahun. Benar-benar sangat singkat, bukan? Kabinet yang sedang menjabat dapat dengan mudah turun dengan adanya mosi tidak percaya. Singkatnya periode pemerintahan kabinet ini menyebabkan keadaan pemerintah yang tidak stabil, dan bisa saja menganggu aspek lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa demokrasi pralementer ini tidak cocok untuk diberlakukan di Indonesia. Sampai pada akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai berakhirnya demokrasi parlementer di Indonesia.

Setelah demokrasi parlementer atau demokrasi liberal berakhir. Presiden Soekarno mengumumkan diberlakukannya demokrasi terpimpin, seluruh keputusan terpusat pada pemimpin negara atau Presiden Soekarno itu sendiri. Presiden Soekarno menjadi pemegang penuh kekuasaan dan kendali negara. Semua pengambilan keputusan harus atas persetujuan Presiden. Tentu saja hal ini menyebabkan adanya kesenjangan dikarenakan presiden dapat dengan mudah menyingkirkan siapa saja yang tidak setuju atau bertentangan dengan keputusannya. Demokrasi terpemimpin ini dirasa sudah menyimpang jauh dari aturan dan cita-cita negara. Aspirasi rakyat tidak lagi diperhitungkan. Lembaga legislatif tidak lagi memiliki peran yang penting dalam pemerintahan. Pada periode ini paham komunis sangat kuat dan meluas dengan adanaya paham NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Puncak kejayaan komunis adalah terjadinya sebuah peristiwa besar pada 30 September 1965, gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh PKI dengan membantai para jenderal besar. Akibat peristiwa ini, terjadilah protes dan demontrasi mahasiswa besar-besaran di depan Istana Negara. Presiden Soekarno pun memberikan sebuah mandat kepada Panglima Jenderal Soeharto untuk mengatasi konflik yang ada dengan mengeluarkan Surat perintah Sebelas Maret.

Sejak saat itu, Jenderal Soeharto mulai mengambil alih kekuasaan dan menandai berakhirnya masa pemerintahan orde lama. Rakyat menaruh harapan besar pada pemerintahan orde baru ini agar dapat bangkit dari keterpurukan ekonomi dan Indonesia bisa lebih baik dan maju. Soeharto menjalankan beberapa program pada masa kepemimpinannya, diantaranya program pelita, swasembada beras, dan pemerataan kesejahteraan penduduk seperti program KB, air bersih, dan wajib belajar 9 tahun. Namun disamping kemajuan dan pembangunan infrastruktur yang pesat, Presiden Soeharto menerapkan pemerintahan yang otoriter. Kebebasan pers dan kebebasan berpendapat sangat dibungkam. Juga terjadinya KKN secara besar-besaran. Presiden Soeharto telah menjabat dalam kurun waktu yang sangat lama selama 32 tahun. Banyak terjadi kasus pelanggaran HAM dan bahkan samapai saat ini kasusnya belum tuntas. Puncak dari protes rakyat adalah demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa bahkan sampai turun ke jalanan. Mereka mendesak agar Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Demonstrasi semakin memuncak dengan terbunuhnya 4 mahasiswa Universitas Trisakti. Akhirnya Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden secara resmi pada 21 Meni 1998. Karena pada saat itu wakil presiden yang sedang menjabat adalah BJ Habibie, maka secara otomatis beliau menggantikan posisi Soeharto. Sejak saat itu berakhirlah masa pemerintahan orba sekaligus menandai munculnya masa Reformasi. (Ula, 2023) Beberapa ilmuwan Barat, seperti Samuel P. Huntington menganggap demokrasi tidak dapat tumbuh di negara berpenduduk Islam. Pandangan serupa juga dilontarkan oleh Elie Kedourie dan Bernard Lewis yang menganggap peradaban Islam bersifat unik.

II. Teori Teori Demokrasi

Dalam demokrasi Barat, dikenal istilah vox populi vox dei yang berarti suara rakyat adalah suara Tuhan. Secara tidak langsung dalam demokrasi Barat, suara Tuhan tidak diperlukan (sangat bertentangan dengan Ajaran Islam), rakyat telah menjadikan diri mereka sebagai Tuhan bagi dirinya sendiri dan tidak memerlukan lagi segala sesuatu yang datang dari Tuhan dalam pedoman hidup bernegara. Karenanya, syarat terpenting dalam demokrasi Barat adalah harus menerima sekularisme. Makna demokrasi dalam sebuah ideologi adalah ketika sebuah negara yang merupakan organisasi tertinggi dalam wilayah tertentu menganut demokrasi harus mau menyerahkan kekuasaan kepada rakyat sehingga rakyat yang membuat aturan dasar, rakyat yang membentuk pemerintahan, rakyat yang membuat kebijakan untuk dilaksanakan oleh pemerintah tersebut, serta rakyat yang mengawasi dan menilai pelaksanaan kebijakan tersebut atau kinerja pemerintah. Secara garis besar, hakikat demokrasi dalam sistem pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat, baik dalam pemerintahan maupun dalam penyelenggaraan negara yang mencangkup tiga hal, yaitu pemerintah dari rakyat (government of the people), pemerintah oleh rakyat (government by people), dan pemerintahan untuk rakyat (government for people).

Ada beberapa hal yang menjadi tantangan demokratisasi di dunia Islam ketika konsep demokrasi yang berasal dari Barat diintegrasikan secara doktrinal dengan Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis, yaitu:

1) Demokrasi adalah buatan akal manusia bukan berasal dari wahyu karena itu demokrasi tidak memiliki hubungan secara doktrinal dengan Islam.

2) Demokrasi berlandaskan dua ide, yaitu kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan. Dalam Islam, kedaulatan adalah pemilik syara’ (undang-undang agama Islam, hukum, atau syariat Islam) bukan milik rakyat.

3) Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan diselenggarakan berdasarkan suara mayoritas pemilih. Dalam Islam, suara mayoritas diambil untuk masalah-masalah yang belum dijelaskan dalam Al-Quran dan menyangkut urusan yang memerlukan langkah segera. Perkara yang sudah pasti, seperti hukum halal dan haram tidak diperlukan lagi suara mayoritas.

4) Demokrasi menyatakan adanya empat macam kebebasan, yaitu kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan, dan kebebasan bertingkah laku. Dalam Islam, kebebasan-kebebasan tersebut dapat diterima selagi tidak bertentangan dengan nilai-nilai etik yang termaktub dalam Al-Quran dan Hadis.

III. Demokrasi Menurut Islam

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy Syura: 38) 055. “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS An Nuur: 55).

Kosakata politik Islam tidak mengenal istilah demokrasi. Sebagai fondasi utama dalam kehidupan politik, Islam menggunakan istilah musyawarah yang di dalamnya mengandung nilai partisipasi, kebebasan, dan persamaan. Al-Quran dan Hadis tidak secara eksplisit menerangkan konsep bernegara. Namun, prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termuat di dalamnya, seperti mengenai keadilan, musyawarah, menegakkan kebaikan, perdamaian, persaudaraan, keamanan, dan persamaan. Dalam Islam, istilah demokrasi sering kali dihubungkan dengan istilah syura. Kata syura berasal dari kata syawara yusyawiru yang berarti menjelaskan, menyatakan, mengajukan, dan mengambil sesuatu. Syura atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara. Menurut Quraish Shihab, secara substansi antara demokrasi dan syura terdapat perbedaan, tetapi keduanya juga memiliki persamaan. Persamaannya, persoalan-persoalan masyarakat itu dikembalikan kepada kehendak masyarakat. Sedangkan perbedaannya, jika dalam demokrasi ada yang dikatakan kembali kepada rakyat, dalam syura ada nilai-nilai yang tidak boleh dilanggar, nilai-nilai itu adalah ketetapan Allah SWT. Dalam Islam, ada hal yang tidak boleh dimusyawarahkan, misalnya persoalan ibadah yang harus diterima sebagaimana ketentuan yang telah diatur agama. Itu bukan wilayah musyawarah. Kita tidak dapat bermusyawarah berkaitan dengan jumlah rakaat salat. Kita harus menerima ketentuan tersebut apa adanya.

Pada dasarnya Islam sangat menjunjung esensi demokrasi, seperti penghargaan terhadap kesederajatan manusia, kebebasan berpikir, dan kemerdekaan individu. Namun, tidak semua ajaran demokrasi Barat relevan dengan ajaran Islam. Demokrasi dalam perspektif Barat secara inheren menyimpan ajaran sekularisme. Islam menolak ajaran sekularisme. Islam mengajarkan umatnya untuk menjadikan agama sebagai sumber segala hukum di dalam proses politik yang terjadi di meja demokrasi. Membicarakan demokrasi berdasarkan sudut pandang doktrinal Islam akan terasa sulit untuk menemui titik tengahnya. Namun, bila dilihat secara sosio-kultural, terdapat nilai-nilai demokrasi yang dikaji dalam Islam, misalnya ajaran hablun min Allah wa hablun min al-nas, yaitu menjalin hubungan vertikal dengan Allah dan komunikasi horizontal dengan sesama umat manusia. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya memerintahkan umatnya untuk berhubungan dengan Tuhannya semata, melainkan juga harus mewujudkan proses komunikasi dengan sesamanya. Meskipun secara doktrinal Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda, tetapi secara substantif ada prinsip-prinsip demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Prinsip keadilan dalam penegakan hukum, persamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta kebebasan berpendapat.

Dalam politik Islam, para wakil itu biasa disebut ahlul aqdi wal halli. Mereka adalah para tokoh yang salah satu tugasnya adalah memilih pemimpin. Misalnya dalam kitab Al Ahkam Sulthaniyah, karya Imam Al mawardi. Dijelaskan sebagai berikut. Apabila para ahli ‘aqd wal halli (yang berwenang memilih dan menetapkan pemimpin) berkumpul untuk melakukan pemilihan, mereka akan meneliti keadaan para calon pemimpin yang memenuhi syarat-syarat kepemimpinan. Kemudian mereka mendahulukan untuk dibaiat seseorang yang paling utama di antara mereka, yang paling sempurna dalam memenuhi syarat, dan yang paling cepat mendapatkan ketaatan dari masyarakat tanpa ada keraguan dalam penerimaan baiatnya.Apabila mereka telah menentukan satu orang dari kelompok tersebut berdasarkan hasil ijtihad mereka, maka kepemimpinan itu akan ditawarkan kepadanya. Jika ia menerima, mereka membaiatnya, dan dengan baiat mereka itu, kepemimpinannya pun sah. Setelah itu, seluruh umat wajib masuk ke dalam baiat tersebut dan menaati kepemimpinannya. Namun, jika ia menolak untuk menjadi pemimpin dan tidak menerima baiat itu, maka ia tidak dipaksa untuk menerimanya, karena kepemimpinan adalah akad yang berdasarkan kerelaan dan pilihan, bukan sesuatu yang mengandung paksaan. Dalam hal ini, mereka akan beralih kepada orang lain yang memenuhi syarat untuk dijadikan pemimpin.

 

IV. Fenomena Demokrasi di Indonesia

Gagalnya pemilihan secara langsung oleh rakyat yang diharapkan bisa jujur, adil dan transparan memunculkan ide pemilihan umum dipilih kembali oleh Wakil Rakyat, usulan ini lebih syar’i daripada pilihan langsung. Ada sanadnya dan banyak rujukan kitabnya. Bahkan juga lebih pas dengan Pancasila sila ke empat, yaitu, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Jelas sekali, cukup perwakilan saja yang memilih pemimpin dalam segala levelnya. Mungkin ada yang menyanggah, tidak ada jaminan akan diperoleh pemimpin hebat bila yang memilih hanya wakil rakyat. Juga ditambah lagi, tidak ada jaminan suap-menyuap hilang bila hak pilih hanya diberikan kepada wakil rakyat. Nanti akan bergeser, serangan fajar dari menyuap rakyat ganti menyuap wakil rakyat. Sejak reformasi, sudah 20 tahun pilihan langsung dijalankan. Yang terjadi adalah NPWP (Nomer Piro Wani Piro) Calon yang kaya raya berlomba membagi uang, sementara tokoh Akademisi yang bagus dan potensial tidak berani nyalon jika uangnya tidak banyak. Bahkan yang lebih parah, munculnya fenomena oligarki. Pengusaha-penguasa kolaborasi menghisap segala sumber daya alam nusantara. Memang ada beberapa pemimpin daerah yang bagus mampu membuat Kotanya menjadi maju dan modern dengan pilihan langsung, sukses memajukan daerahnya. Tetapi kebanyakan biasa-biasa saja, bahkan banyak yang dibawah standar. Orang tidak bisa mimpin rapatpun bisa jadi pemimpin. Hanya karena populer di masyarakat ditambah serangan uang mereka jadi pemimpin. Disamping itu, banyak penguasa daerah yang menjadi pesakitan, masuk penjara akibat korupsi. Ada lima alasan, mengapa pemimpin cukup dipilih wakil rakyat:

1) Mengurangi ketegangan politik masyarakat, dampaknya sampai hari ini belum benar-benar hilang. Kadrun vs Kampret masih saja terdengar, bahkan walaupun yang dibela masyarakat sudah akur menjadi satu gerbong kabinet. Polarisasi itu begitu dahsyatnya sehingga menguras energi sosial masyarakat.

2) Melokalisasi pertikaian hanya di tingkat elit. Dengan dipilih wakil rakyat jika ada pertengkaran, biarlah hanya di tingkat wakil rakyat dan elit politik. Rakyat tetap adem, sehingga kegiatan sehari-hari tidak lagi ngurusi politik. Yang guru sibuk mencerdaskan muridnya, yang usaha sibuk dengan bisnisnya bahkan yang pengangguranpun tidak tertarik ngurusi pilihan pemimpin.

3) Rakyat tidak terlibat dosa politik, suap-menyuap dalam politik memang tidak mudah dihilangkan. Ketika pilihan langsung yang disuap adalah rakyat, maka jika yang memilih wakil rakyat kepada merekalah suap mengalir. Biar saja seandainya itu tetap berlangsung. Ada kaidah fikih, Jika ada dua mafsadat ambillah mafsadat yang paling ringan. Idealnya, pilihan pemimpin bersih dari suap. Tetapi bila tetap ada, daripada semua rakyat rusak karena suap dilokalisir saja di gedung DPR.

4) Sabda Nabi: “manusia itu seperti barang tambang.” Ada produk tambang yang harganya satu gram sejuta rupiah lebih. Itulah emas. Tetapi ada pula barang tambang satu truk hargnya cuma duaratus ribu rupiah. Itulah galian C. Tanah urug. Praktek pilihan langsung itu menyamakan nilai setiap manusia sama. Antara guru besar yang dokter super spesialis, nilainya sama dengan orang ideot. Sama-sama satu suara. Jelas ini ukuran yang tidak adil. Maka pilihan pemimpin serahkan saja kepada ahlinya. Tidak perlu satiap orang ikut milih.

5) Pemilihan langsung itu tidak ada sanadnya. Tidak ada dalam kitab kitab ditemukan pemilihan pemimpin secara langsung, seperti yang sekarang dipraktekkan di banyak negara. Dulu, Abu Bakar Assidiq menjadi khalifah setelah dibaiat oleh beberapa sahabat kenamaan. Demikian pula Utsman bin Affan menggantikan Umar bin Khatab setelah diputuskan oleh musyawarah enam sahabat ternama. Maka kemudian para ulama menyimpulkan, bahwa orang-orang pilihan itulah yang disebut ahlul aqdi wal halli. Sistem pemilu adalah ijtihad.

Demikianlah makalah Demokrasi dalam Pandangan Islam ini, selama masih ada unsur demokrasi dan pelakunya bukan orang yang beriman dan beramal sholeh sebagaimana diisyratkan dala QS. An Nur:55 maka penyimpangan jual beli suara, strategi untuk dominasi politik untuk memperebutkan kekuasaan tetap akan terjadi, maka Islam mengajarkan dengan Musyawarah sebagaimna tercantum dalam QS. Asy-Syuara:38. Dulu saat reformasi Amin Rais sangat bersemangat untuk mengubur segala yang berbau orde baru. Jaman pak Harto semuanya sentralistik. Lalu diubah sebaliknya, semua terserah rakyat. Hasilnya sama-sama kita rasakan, ternyata tidak lebih baik. Maka kita perlu ber-ijtihad barangkali ada formula yang lebih pas. Misalnya, cukup dipilih DPR-MPR tetapi kontrolnya yang diperkuat. Bukan hanya dari partai tetapi dari civil society, apa lagi Kota Batam visinya “Bandar Dunia yang Madani”. Wallahu’alam bshshowab

Referensi:

Al Qur’an dan Hadist

Ula, Dewi Sarah Tasyriqotul (2023), Perjalanan-Demokrasi-Indonesia-Sebelum-Reformasi, Komapsiana

Ubai, Siti Shafiyah Nur (2024), Demokrasi-Dalam-Pandangan-Islam-Dan-Barat-Perlukah-Integrasi-Antara- Keduanya, Kompasiana

Nursalim, Muh (2024) Setuju Presiden Prabowo, Ijtima’ Sanawi DPS XX