Mabesnews com.Kepahiang, Bengkulu – Minggu pagi di Klinik Desa Permu berubah menjadi kisah pilu bagi seorang pasien bernama MY. Bukannya mendapatkan pengobatan yang ia butuhkan, ia justru dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit: layanan BPJS Kesehatan ditolak dengan alasan “hari libur.”
MY, yang tubuhnya lemah akibat demam tinggi dan batuk tak kunjung reda, datang ke klinik tersebut bersama anak laki-lakinya. Harapan akan kesembuhan seketika pudar ketika pihak klinik menyatakan bahwa layanan BPJS tidak berlaku di hari Minggu.
“Saya bingung. Bukankah klinik ini 24 jam? Saya terpaksa bayar jalur umum meskipun kami sudah rutin membayar BPJS setiap bulan,” ungkap MY dengan suara lirih.
“Ini Peraturan, Bukan Masalah Kami!”
Suami MY, MS, yang sedang bertugas di PLN, tidak tinggal diam. Setelah mendengar cerita istrinya, ia langsung mendatangi klinik untuk meminta penjelasan. Namun jawaban yang ia dapatkan justru menambah kekecewaannya.
“Petugas klinik bilang ini sudah aturan dari BPJS. Kalau hari libur, poli tutup dan layanan BPJS tidak tersedia, kecuali kondisi darurat,” ujar MS menirukan jawaban pihak klinik. “Tapi bagaimana mereka bisa bilang kondisi istri saya bukan darurat? Badannya demam tinggi sampai tidak bisa berdiri tegak!” tambahnya dengan nada emosi.
BPJS: Solusi atau Sekadar Ilusi?
Kasus ini memantik kemarahan warga setempat. Banyak yang mempertanyakan, apa gunanya membayar iuran BPJS jika pelayanan kesehatan tetap dibatasi? “Kesehatan itu hak semua orang! Tidak ada alasan untuk menolak pasien, apalagi hanya karena hari libur,” ujar salah seorang warga dengan geram.
Seorang warga lain bahkan memberikan kritik tajam, “Kalau aturan seperti ini dibiarkan, lebih baik BPJS diganti nama saja jadi Badan Penyelenggara Jaminan Sakit Ketika Tidak Libur.”
Dinas Kesehatan Murka: Klinik Harus Bertanggung Jawab
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kepahiang, H. Tajri Fauzan, S.KM, M.Kes, langsung merespons kasus ini. Dalam pernyataan resminya, ia menegaskan bahwa semua fasilitas kesehatan, termasuk klinik 24 jam, wajib melayani pasien BPJS tanpa memandang hari kerja atau libur.
“Tindakan klinik ini tidak bisa ditoleransi. Masyarakat sudah membayar iuran BPJS, mereka berhak mendapatkan pelayanan kapan pun. Ini adalah hak dasar, bukan kebijakan yang bisa diatur-atur sesuka hati,” tegas Tajri.
Dinas Kesehatan berjanji akan segera memanggil pihak klinik untuk mengklarifikasi kejadian ini. Jika terbukti melanggar aturan, sanksi tegas akan dijatuhkan.
Di Mana Nurani Pelayanan Kesehatan?
Kasus ini mengungkap realitas pahit yang masih dialami masyarakat kecil. Ketika pelayanan kesehatan menjadi rumit dan diskriminatif, siapa yang sebenarnya dirugikan? Pasien yang sakit, atau sistem yang sakit?
“Kami hanya ingin keadilan. Jangan sampai ada lagi pasien yang diperlakukan seperti ini. Semua orang punya hak yang sama untuk sehat, kapan pun dan di mana pun,” ujar MS dengan penuh harap.
Hingga kini, publik menunggu langkah nyata pemerintah daerah untuk menyelesaikan kasus ini. Akankah ada perubahan besar, atau semuanya akan berlalu tanpa jejak seperti angin di musim penghujan?**