Mabesnews.com.Makassar – Hujan lebat disertai dengan angin kencang akibatkan beberapa daerah di Maros, Makasssar, dan Gowa alami banjir dan longsor di beberapa titik. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maros mencatat sekitar 4000 kepala keluarga (KK) terdampak banjir yang tersebar di 14 Kecamatan. Sedangkan di Makassar, Ada kurang lebih 2.164 jiwa yang terdampak dari 4 Kecamatan. Selain Maros dan Makassar, BPBD Kabupaten Gowa juga mencatat ada 6 kecamatan terdampak dari cuaca ekstrem.
Tahun lalu, Dalam catatan akhir tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan mencatat ada sekitar 362 kejadian bencana yang terjadi di seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.
“Dalam kajian kami, provinsi ini sudah mengalami penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Dalam 10 tahun terakhir setidaknya angka kejadian bencana di Sulawesi Selatan meningkat 6 kali lipat. Dimana tahun 2014 tercatat hanya ada 54 kejadian angka bencana dan 2024 angkanya mencapai 362. Selain itu, kerugian yang dialami oleh masyarakat Sulawesi Selatan akibat bencana tahun lalu itu jumlahnya sangat fantastis yakni mencapai 1,95 Triliun Rupiah.”, Ujar Slamet.
Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulawesi Selatan ini pun membeberkan beberapa penyebab dari kritisnya kondisi lingkungan yang ada di Sulawesi Selatan. Ia menyebut bahwa Sulawesi Selatan kini hanya memiliki luas tutupan hutan pada tahun 2023 sekitar 1.359.039 Ha atau hanya tersisa 29,70% dari luas provinsi. Dengan luasan tutupan hutan yang hanya tersisa di bawah 30% menjadikan Sulawesi Selatan sebagai provinsi yang masuk dalam kategori kritis.
“Berdasarkan kajian WALHI Sulawesi Selatan, tingginya angka kehilangan tutupan hutan di wilayah ini dipengaruhi oleh beberapa faktor utamanya soal masifnya izin pertambangan di wilayah hulu atau kawasan hutan, alih fungsi lahan, penebangan liar, dan pembangunan. Hilangnya tutupan hutan di Sulawesi Selatan dalam jumlah yang masif tiap tahunnya berbanding lurus dengan kritisnya Daerah Aliran Sungai yang tersebar di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Tercatat dari 139 DAS yang ada di Sulawesi Selatan hanya sekitar 38 DAS yang masuk dalam kategori sehat karena memiliki tutupan hutan di atas 30%. Sedangkan sisanya sebanyak 101 DAS atau 72,6 % DAS yang ada di Sulawesi Selatan mengalami kritis.”, Ujarnya.
Sehubungan dengan kejadian banjir dan longsor yang terjadi dalam beberapa hari terakhir di tiga daerah menurut Slamet merupakan akumulasi dari kerentanan ekologi Sulawesi Selatan yang tiap tahun semakin meningkat.
“Selain intensitas hujan dan air pasang yang membuat aliran air di sungai tidak langsung menuju ke lepas pantai. Secara hidrologi hal ini berakibat pada meluapnya sunga-sungai di dua DAS yakni Maros dan Tallo. Masalah lainnya adalah wilayah resapan air yang semakin terbatas, drainase yang buruk, dan tutupan hutan di dua DAS ini semakin berkurang. Bahkan DAS Maros saja menunjukkan bahwa dalam 30 tahun terakhir luas hutannya mengalami penurunan sebesar 1.057,90 hektar.”, Ucapnya.
Dengan kejadian yang terus berulang dan intensitas serta dampaknya yang semakin tinggi, maka WALHI Sulawesi Selatan kemudian menghimbau agar pencegahan dan penanganan bencana di Sulawesi Selatan sudah harus dilakukan secara holistik dan pendekatannya berbasis bentang alam.
“Saya kira dengan kerentanan yang semakin tinggi dan diperparah dengan ancaman krisis iklim. Maka sudah seharusnya pemerintah memikirkan ulang serta merumuskan konsep pencegahan dan penanganan yang tidak dibatasi oleh wilayah administratif melainkan sudah harus berbasis bentang alam. Artinya, tiap daerah sudah tidak bisa lagi hanya bertanggungjawab dengan daerahnya masing-masing, melainkan sudah harus melihat permasalahan secara lebih holistik dan mengajak daerah lain untuk duduk dan berdiskusi bersama.”, Ujar Slamet.
Terakhir, Slamet juga mendesak kepada pemerintah untuk melakukan monitoring, evaluasi, dan menindak tegas para pelaku usaha yang merusak dan memperparah kondisi lingkungan di Sulawesi Selatan.
“Aktivitas ekstraktif seperti pertambangan dan pembangunan infrastruktur yang mengorbankan kondisi lingkungan sudah seharusnya ditindak secara tegas. Jika tidak, maka kejadian bencana di provinsi ini akan semakin meningkat tiap tahunnya dan yang menjadi korban dari ini semua tentunya adalah masyarakat Sulawesi Selatan”, tegas Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulawesi Selatan ini dalam keterangan persnya.*