Aliansi Penyelamat Kelembagaan Adat Melayu Kepri Desak DPRD Gunakan Hak Inisiatif untuk Revisi Perda LAM

MabesNews.com, Tanjungpinang, Dompak – 11 Februari 2025 – Aliansi Penyelamat Kelembagaan Adat Melayu Kepulauan Riau (Kepri) yang dipimpin oleh Dato’ Huzrin Hood kembali menguatkan desakannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kepri agar segera menggunakan hak inisiatif untuk merevisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Lembaga Adat Melayu (LAM). Aliansi ini menilai bahwa regulasi tersebut telah kedaluwarsa karena masih berlandaskan visi Kepri 2020, sementara saat ini, daerah telah memasuki era Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kepri 2025-2045 yang menuntut sinkronisasi kebijakan kelembagaan adat dengan arah pembangunan yang lebih luas dan berkelanjutan.

 

Dalam audiensi yang digelar bersama DPRD Kepri, Dato’ Huzrin Hood menekankan bahwa revisi perda bukan sekadar kebutuhan administratif, melainkan langkah krusial untuk menjaga eksistensi dan efektivitas LAM dalam menjalankan fungsinya sebagai penjaga adat istiadat Melayu di Kepri.

 

“Aliansi ini dibentuk untuk tujuan menyampaikan aspirasi, usulan, serta rekomendasi kebijakan terkait kemajuan pembangunan Kepri di bidang adat istiadat. Fokus utama kami adalah perubahan Perda 1/2014, karena regulasi ini memiliki pengaruh besar terhadap pembangunan budaya dan kemajuan adat. Perubahan ini juga didasarkan pada alasan konstitusional yang menjadikan perda ini sebagai payung hukum bagi kelembagaan adat atau LAM,” ujar Dato’ Huzrin Hood.

 

Tujuh Alasan Konstitusional Revisi Perda 1/2014

 

Aliansi Penyelamat Kelembagaan Adat Melayu Kepri mengemukakan tujuh alasan utama mengapa revisi Perda 1/2014 mendesak untuk dilakukan. Bahkan, mereka menilai bahwa perda ini dapat dibatalkan melalui judicial review di Mahkamah Agung (MA) karena bertentangan dengan kepentingan umum serta peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

 

Pertama, perda ini memiliki berbagai kesalahan formil dan materil yang membuatnya sulit untuk diajukan judicial review ke MA. Perubahan diperlukan agar regulasi baru lebih terstruktur, dapat diuji secara hukum, serta lebih kuat dalam memberikan legitimasi kelembagaan adat Melayu di Kepri.

 

Kedua, perda ini tidak lagi mengakomodasi perkembangan lingkungan strategis, baik dalam aspek sosial, budaya, maupun politik. Sejak disahkan pada 2014, berbagai perubahan telah terjadi, tetapi perda ini tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut.

 

Ketiga, struktur pasal dalam Perda 1/2014 dinilai tidak logis atau berantakan. Penyusunannya terlihat berbeda dari Perda LAM Riau, tetapi justru menyebabkan kesulitan dalam implementasi regulasi.

 

Keempat, terdapat kesalahan formil yang fatal, terutama pada bagian konsideran. Pada bagian menimbang huruf b, ditemukan indikasi bahwa perda ini merupakan hasil jiplakan dari Perda LAM Riau. Visi yang digunakan masih merujuk pada Visi Kepri 2020, padahal RPJP Riau sudah diperpanjang hingga 2025 dan akan segera disesuaikan dengan RPJP Riau 2025-2045. Sementara itu, RPJP Kepri memiliki visi hingga 2025 dan akan diperbarui untuk periode 2025-2045.

 

Kelima, perda ini tidak menetapkan tugas, kewenangan, tujuan, serta bentuk dan fungsi organisasi LAM secara tegas. Ketidaktegasan ini menyebabkan kekacauan dalam perumusan Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) LAM. Akibatnya, mekanisme penggantian antar waktu (PAW) serta penyusunan program kerja menjadi tidak terarah dan berjalan sesuka hati.

 

Keenam, perda ini belum mengakomodasi karakter LAM sebagai kelembagaan adat berbentuk konfederasi. Aliansi menilai bahwa perubahan regulasi harus menegaskan status ini agar LAM memiliki fleksibilitas dalam menjalankan tugasnya serta berfungsi secara optimal dalam menjaga budaya Melayu di Kepri.

 

Ketujuh, visi RPJP Kepri 2025-2045 harus dimasukkan ke dalam perda yang baru. Penyusunan ulang perda harus dilakukan dengan pernyataan imperatif bahwa kebijakan kelembagaan adat harus selaras dengan visi pembangunan daerah. Jika perda tetap berlandaskan visi lama, maka LAM Kepri akan kehilangan relevansi dalam menentukan arah kebijakan budaya dan adat istiadat di masa depan.

 

Transparansi Dana LAM dari APBD Kepri

 

Selain fokus pada revisi perda, Aliansi Penyelamat Kelembagaan Adat Melayu Kepri juga menyoroti transparansi penggunaan anggaran yang dialokasikan untuk LAM melalui APBD Kepri setiap tahunnya.

 

Ketika ditanya oleh pewarta mengenai anggaran ini, Sekretaris Aliansi, Datuk Haidar Rahmat, menegaskan bahwa fokus utama mereka saat ini adalah revisi perda. Namun, ia juga mengingatkan bahwa pengelolaan keuangan harus memiliki pertanggungjawaban yang jelas.

 

“Kita fokus ke perubahan perda dulu, karena itu adalah ranah DPRD. Urusan keuangan itu ada di tangan eksekutif, yaitu gubernur. Tetapi, pada waktunya nanti, kita juga akan mempertanyakan pengalokasian dana miliaran rupiah yang setiap tahun dianggarkan untuk LAM. Dana tersebut bersumber dari APBD, sehingga harus ada pertanggungjawaban secara hukum,” ujar Datuk Haidar Rahmat.

 

Dukungan Akademisi dan Tokoh Adat

 

Sejumlah akademisi dan tokoh adat Melayu Kepri turut memberikan dukungan terhadap revisi Perda 1/2014.

 

Guru Besar Ilmu Hukum Adat Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Prof. Dr. Syahrial, menekankan bahwa kelembagaan adat Melayu Kepri membutuhkan regulasi yang lebih adaptif dan berbasis hukum yang kuat.

 

“Regulasi kelembagaan adat harus memiliki fleksibilitas dalam menghadapi perubahan zaman, tetapi tetap berlandaskan prinsip hukum yang kokoh. Jika aturan yang mengatur kelembagaan adat tidak relevan dengan kebutuhan saat ini, maka LAM akan sulit menjalankan fungsinya dengan optimal,” tegas Prof. Syahrial.

 

Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus Harian LAM Kepri, Datuk Wan Muhammad Ridwan, menyatakan bahwa pihaknya siap bekerja sama dalam penyusunan regulasi baru yang lebih sesuai dengan perkembangan daerah.

 

“Kami sepakat bahwa perda ini perlu direvisi, tetapi perubahan ini harus dilakukan secara transparan dan melibatkan berbagai pihak agar benar-benar mencerminkan kepentingan bersama,” ujar Datuk Ridwan.

 

DPRD Kepri Akan Lakukan Kajian Lebih Lanjut

 

Hingga berita ini diturunkan, DPRD Kepri belum memberikan pernyataan resmi mengenai desakan revisi Perda 1/2014. Namun, beberapa anggota dewan yang menghadiri audiensi menyatakan bahwa mereka akan mempertimbangkan usulan ini dan melakukan kajian lebih lanjut.

 

Ketua Komisi I DPRD Kepri, Ahmad Syafri, mengungkapkan bahwa pihaknya memahami aspirasi masyarakat adat Melayu Kepri dan akan segera membahasnya dalam pertemuan internal DPRD.

 

“Kami akan melakukan kajian lebih lanjut dan mencari solusi terbaik agar regulasi kelembagaan adat lebih kuat dan selaras dengan kebutuhan daerah. Kami memahami bahwa perda ini memiliki peran penting dalam menjaga eksistensi budaya Melayu Kepri,” ujar Ahmad Syafri.

 

Aliansi Penyelamat Kelembagaan Adat Melayu Kepri berharap agar DPRD segera merespons desakan ini dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam proses revisi perda. Dengan regulasi yang lebih baik, LAM Kepri diharapkan mampu memainkan peran strategis dalam menjaga identitas budaya Melayu di tengah arus perubahan zaman.

 

(Nursalim Turatea)