Sopian Adami,SH : Kehidupan Demokrasi yang Diraih Susah Payah Harus Dipertahankan

Lainnya199 views

Mabesnews.com |Medan–Rakyat Indonesia boleh berbangga. Betapa tidak kehidupan demokrasi di negeri ini sudah mengalami kemajuan. Namun, sayang bila ada yang mau mundur jauh kebelakang.

Kehidupan dan kemajuan demokrasi di Indonesia yang sudah kita raih dengan susah payah harus kita pertahankan dan mening kat kan lagi sehingga sejajar dengan negara lain yang demokrasinya sudah sehat,” kata praktisi hukum, Sopian Adami,SH saat berbincang-bincang dengan media ini, Sabtu 3/6/2023.

Putra Aceh yang berdomisili di Lhokseumawe ini diminta tanggapannya seputar hangatnya pembicaraan tentang pemilihan umum (Pemilu) terbuka dan pemilu tertutup di tengah memanasnya suhu politik di Indonesia me nghadapi Pemilu 2024 mendatang.

Bahkan lanjut Sopian Adami seperti diketahui masalah pemilu terbuka dan pemilu tertutup sudah sampai kemeja Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Lihat saja sidang lanjutan pengujian Undang-Undang (UU) No mor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang digelar pada Rabu 12 April 2023.

“Kita tidak serta merta memperbincangkan masalah sidang tersebut, karena pengujian UU itu sah-sah saja.Tapi yang kita bicarakan hari ini harus kita akui pula ke majuan kehidupan demokrasi di negeri ini sudah mulai mendapat tempat di hati rakyat. Karena pemilu yang digelar selama ini dengan sistem terbuka. Sistem tersebut tentu saja.mendapat apre siasi pula dari rakyat,” ujar Sopian Adami, yang juga pengacara kondang ini.

Dia berharap kehidupan demokrasi dengan pemilu terbuka yang selama ini harus diper tahankan dan ditingkatkan lagi ke depan. Jangan malah ada yang mau.mundur jauh ke belakang seperti misalnya saja mengotak-atik dengan sistem pemilu tertutup.

Mengacu pada sumber Indonesia.go.id, Sopian Adami melukiskan kehidupan demo krasi Indonesia hari ini tercatat pada peringkat 52 dunia atau setinggi 12 anak tangga diban ding posisi ke-64 pada tahun 2020.

Seperti diketahui perihal kenaikan indeks demokrasi itu diumumkan pada Rabu, 9 Fe bruari 2021 oleh The Economist In telligence Unit (EIU) atau sebuah lembaga observer dan analis politik-ekonomi global yang berbasis di London. EIU itu adalah bagian dari grup media terkemuka The Economist, dan dia telah me lakukan pemeringkatan indeks demokrasi itu sejak 2006 lalu.

“Bisa kita bayangkan dari 167 negara yang diobservasi, EIU mengelompokkan ke dalam empat ka tegori. Tercatat ada 23 negara dengan indeks demokrasi tertinggi yang dikate gorikan sebagai negara demokrasi penuh (full demo vcracies). Sedangkan 52 negara ini tergolong demokrasi yang tak sempurna (flawed democracies). Sebanyak 31 ne gara hybrid regimes(rezim hibrida), dan 57 negara lainnya masuk ke lompok negara otoritarian (authoritation regimes),” rincinya.

Indonesia berada di kelompok dua, yang di dalamnya ada Prancis (pe ringkat 22), Amerika Serikat (26), Belgia (36), Malaysia (39), India (46), Singapura (66), Thailand (72), dan banyak lainnya. Sedangkan negara yang masuk kampiun demokrasi, antaral ain, Norwegia, Swedia, Selandia Baru, Belanda, dan banyak lainnya. Meksiko di peringkat 86 dan Turki di posisi 103 termasuk rezim hibrida.

Itu sebabnya kemajuan kehidupan demokrasi yang sudah dicapai Indonesia lanjut Sopian Adami perlu terus dipertahankan dan diting katkan ke depan. Jangan sekali-kali mencoba mundur ke jauh belakang. Seperti misalnya dengan sistem pemilu tertutup. Apa artinya yang selama ini diperjuangkan oleh rakyat dengan sistem pemilu terbuka lalu misalnya diubah dengan sistem tertutup.

“Kalau kita berbicara tentang indeks de mo krasi, Sopian Adami menyebutkan penilaian indeks demokrasi ini berdasarkan Indo ne sia.go.id, hasil observasi atas lima indikator demokrasi, yakni proses pemilihan umum dan pluralisme, kebebasan sipil, berfungsinya pemerintahan dan partisipasi politik, serta budaya politik,” ucap Sopian Adami.

Kelima indikator itu lantas diuraikan dalam 60 kuisioner yang dijawab oleh tim ahli. Survei-survei domestik yang terkait atas ke-60 isu itu akan memandu tim ahli memberikan jawaban atas semua pertanyaan itu. Masing-masing jawaban punya standar nilai dan bobot sendiri.

Khusus bagi Indonesia, kenaikan signifikan pada 2021 ada pada indikator ‘fungsi pe merintahan’ yang skornya naik dari 7,17 ke 7,86. Indikator ‘partisipasi politik’ naik dari 6,11 ke 7,22 dan ‘kebebasan sipil’ meningkat dari 5,59 ke 6,18. Sementara yang jeblok adalah ‘budaya politik’ dengan skornya turun dari 5,63 ke 4,38. Sedangkan untuk isu ‘pemilu dan pluralisme’, skor stabil di angka 7,92.

Seperti dilansir Indonesia.go.id sebut Sopian Adami budaya politik memang selalu menjadii isu rumit di Indonesia. Ia merujuk perilaku ma syarakat dalam kehidupan bernegara, yang di dalamnya ada unsur hukum, norma, dan ter kait pula penyelenggaraan negara dalam ke seharian. Unsur kepatuhan warga pada hukum dan norma, dan ke percayaan kepada aparatur negara menentukan nilai budaya politik. EIU memberikan nilai yang relatif rendah pada unsur tersebut.

Sopian Adami menyebutkan pada sisi lain, EIU yang merupakan lembaga kajian yang berwibawa dari London itu menilai ada per baikan dalam hal fungsi pemerintahan dan partisipasi politik. Dalam laporan tahunan 2021, EIU mencatat setidaknya ada dua hal yang menaikkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) November 2021, yang dalam posisinya se bagai badan penyeimbang bagi kekuasaan eksekutif dan legislatif, menyatakan UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu in konstitusional, dan pemerintah diminta me revisinya. Pemerintah pun mematuhinya.

Kedua, keputusan Presiden Joko Widodo yang mengakomodasi berbagai kelompok politik, termasuk partai politik (Parpol) yang lebih kecil, eks prajurit militer, dan tokoh agama, terlibat dalam Kabinet Indonesia Maju. Hal itu dianggap berhasil membangun kompromi an tara ke kuatan politik.

Sopian Adami mengakui tertarik apa yang dikemukan Indonesia.go.id bahwa Indeks de mokrasi itu, sebagaimana sejumlah indeks yang lain, seperti indeks pembangunan ma nusia (IPM), indeks daya saing, indeks persepsi korupsi, indeks terorisme, dan sejum lah lainnya, diperlukan oleh masyarakat inter nasional. Hal ini untuk mengetahui kondisi se buah negara. Banyak lembaga yang telah mela kukan pengukuran indeks-indeks tersebut, na mun pada akhir hanya indeks dari lembaga yang kredibel dan akuntabel yang digunakan sebagai acuan.

EIU merupakan salah satu lembaga yang kre dibel. Ia dianggap sebagai lembaga yang kom peten untuk memberikan penilaian atas kondisi sosial, politik, dan ekonomi pada sebuah negara. EIU tumbuh di ling kungan media ekonomi besar, The Economist, dan telah berkiprah se jak 1946 seusai Perang Dunia II. Kajian-kajiannya menjadi rujukan global.

Dalam pemeringkatan indeks demokrasi itu ada skor 0–10. Sebuah negara masuk dalam kelompok full democracies bila skornya sama atau di atas 8. Yang memiliki skor antara 6 sampai 8 tergolong pada kelompok flawed democracies, demokrasi yang tidak sem purna. Se butan rezim hibrida disematkan ke negara dengan indeks demokrasi 4–6. Yang di bawah 4 disebut negara otoritarian.

Sopian Adami juga tidak menampik apa yang dilansir Indonesia.go.id bahwa Indonesia sen diri sejak 2006 selalu ada di peringkat me nengah-bawah dalam klaster negara flawed demo cracies. Skornya bergerak di antara 6,30 yang terendah (2020) hingga yang tertinggi 7,03 (2015).

Indikator budaya politik dan kebebasan sipil masih menjadi unsur yang tertinggal di Indonesia. Toh, dengan segala ke kurangan nya, indeks demokrasi di Indonesia dianggap masih lebih baik dibandingkan negara tetang ga, seperti Thailand, Singapura, atau Filipina.

Menyinggung tentang memanasnya suhu politik menjelang Pemilu 2024, Sopian Adami mengakui,.tahapan Pemilu 2024 sudah di mu.lai sejak bulan Juni 2024. Sudah pasti semua parpol peserta pesta demokrasi itu sejak awal sudah bbersiap-siap menghadapi pemilihan legislatif dan pemilihan presiden secara serentak di tanah air.

“Sudah tentu semakin dekat pemilu, suhu politik pun kian memanas. Hal ini wajar saja dalam sebuah negara demokrasi. Yang terpen ting bangsa ini harus tetap menjaga persatuan dan kesatuan. Bagi.perserta pemilu harus berkomitmen untuk tetap.menjaga persatuan, dan soliditas bagi segenap lapisan masyara kat. Dengan harapan pesta demokrasi yang akan berlangsung setiap 5 tahun sekali harus sukses secara demokratis,” ujar Sopian Adami.

Maraknya politik identitas menurut Sopian juga berpotensi memecah belah persatuan bangsa bahkan bisa menghambat perkem bangan demokrasi. Karena itu politik sema cam ini perlu di minimalisir sehingga tidak sampai terjadi hal-hal yang dapat meng ganggu alam d demokrasi yang sudah ter capai itu.(tiar)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *