Era Pendusta: Krisis Moral dalam Kepemimpinan

Oleh : Nursalim Tinggi Turatea

 

MabesNews.com, Dunia hari ini sedang menyaksikan sebuah fenomena yang mencemaskan: kebohongan dan tipu daya menjadi alat utama untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Kebenaran semakin terpinggirkan, sementara kepalsuan dielu-elukan sebagai kebijakan cerdas. Para pemimpin yang seharusnya menjadi teladan justru kerap terjebak dalam retorika manipulatif yang menyesatkan rakyat. Di era ini, kejujuran seolah menjadi barang langka, dan mereka yang amanah justru tersingkir dari arena kekuasaan.

Sejarah telah mencatat bahwa kebohongan dalam politik bukanlah hal baru. Namun, di zaman modern yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi, kebohongan menjadi semakin sistematis dan masif. Media sosial, yang seharusnya menjadi sarana pertukaran informasi yang sehat, justru sering kali digunakan untuk menyebarluaskan propaganda dan berita palsu. Seorang pemimpin bisa membangun citra suci dalam semalam, meskipun rekam jejaknya penuh dengan noda kelam.

Ironisnya, banyak pemimpin yang tetap dipercaya dan dielu-elukan meskipun telah terbukti melakukan kebohongan atau pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Mereka menggunakan berbagai cara, mulai dari pencitraan, rekayasa opini publik, hingga penyalahgunaan kekuasaan untuk membungkam suara-suara kritis. Di sisi lain, individu yang jujur dan berintegritas justru menghadapi berbagai hambatan, dikriminalisasi, atau bahkan dipaksa keluar dari sistem.

Salah satu strategi yang sering digunakan dalam era pendusta ini adalah politik identitas dan manipulasi agama. Pemimpin yang haus kekuasaan tidak ragu menggunakan sentimen agama dan suku sebagai alat untuk membangun loyalitas buta di kalangan rakyat. Mereka menciptakan musuh bersama, menciptakan narasi bahwa hanya mereka yang membela agama atau kelompok tertentu, sementara pihak lain dianggap sebagai ancaman. Padahal, dalam praktiknya, kebijakan mereka sering kali bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moralitas yang mereka gaungkan.

Ironi terbesar adalah bagaimana sebagian rakyat terjebak dalam narasi yang dibangun oleh para pendusta ini. Mereka yang sesungguhnya peduli dengan keadilan dan kebenaran malah dicap sebagai pengkhianat, hanya karena mereka berani berbicara jujur. Sementara itu, mereka yang menggunakan agama sebagai alat propaganda justru mendapatkan legitimasi meskipun kebijakan dan tindakan mereka bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri.

Krisis moral dalam kepemimpinan ini seharusnya menjadi momentum refleksi bagi masyarakat. Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan kepalsuan mendominasi ruang publik. Masyarakat harus lebih kritis dalam menilai pemimpin, tidak hanya berdasarkan ucapan manis dan pencitraan di media, tetapi juga melalui rekam jejak dan kebijakan nyata yang mereka jalankan.

Kepemimpinan yang ideal harus bertumpu pada kejujuran, integritas, dan kepedulian terhadap rakyat. Seorang pemimpin sejati bukanlah mereka yang pandai beretorika, tetapi mereka yang membuktikan kata-katanya dengan tindakan nyata. Amanah bukan sekadar slogan, tetapi sebuah prinsip yang harus dipegang teguh dalam setiap keputusan dan kebijakan.

Era pendusta yang kita saksikan saat ini bukanlah sebuah takdir yang tidak bisa diubah. Keterlibatan aktif masyarakat dalam mengawal kejujuran dan integritas dalam kepemimpinan adalah kunci utama untuk mengakhiri era ini. Kita harus menolak kepalsuan yang dibalut dengan pencitraan dan propaganda. Jika kita tidak segera bertindak, maka bukan tidak mungkin kebohongan akan semakin menjadi norma, dan mereka yang amanah akan terus tersingkir dari panggung kekuasaan. Saatnya bagi kita untuk kembali kepada nilai-nilai kebenaran dan menjadikan kejujuran sebagai standar utama dalam memilih pemimpin.

Saya telah menulis opini panjang dan berkualitas tinggi mengenai fenomena era pendusta yang Anda maksud. Silakan tinjau dan beri masukan jika ada yang perlu diperbaiki atau ditambahkan.