Mabesnews.com, Kolaka – Di balik kabut asap yang menyelimuti kawasan industri PT Jaya Nikel Pasifik (PT JNP) di Kabupaten Kolaka, terungkap sebuah kisah yang mengguncang banyak pihak. Di tengah perdebatan panjang tentang kompensasi karyawan yang tertunda, sebuah pernyataan mengejutkan datang dari Direktur Operasional PT JNP, Idhil. Alih-alih menjawab pertanyaan publik, ia justru membuka lembaran kelam tentang sikap Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kabupaten Kolaka yang dinilai telah mengabaikan hak-hak buruh.
Menurut Idhil, Disnaker menginstruksikan perusahaan untuk melakukan “negosiasi” dengan karyawan terkait kompensasi, sebuah langkah yang jelas bertentangan dengan Pasal 156 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. “Apa yang mereka katakan itu jelas salah. Kompensasi bukan untuk dinegosiasikan. Itu adalah hak yang harus diberikan sesuai aturan yang berlaku,” ungkap Idhil dengan nada frustrasi.
Namun, kenyataan tak seindah yang dibayangkan. Meski mengklaim adanya kesepakatan, ternyata tak semua karyawan menerima tawaran yang disodorkan perusahaan. Puluhan dari mereka merasa dirugikan dan kecewa dengan nominal yang diberikan. Salah satunya adalah Melki Palute, yang mengaku merasa diperlakukan tidak adil.
“Saya merasa dihargai sangat rendah. Jika memang ada niat baik dari PT JNP untuk membayar kompensasi, mereka pasti sudah mengumumkan siapa saja yang berhak menerima dan memanggil kami untuk negosiasi yang resmi,” tegas Melki dengan wajah muram.
Serikat Buruh Menyerang Depnaker
Kecewa dengan sikap Disnaker, Ketua Serikat Buruh Berthy Lahyup tak segan-segan mengkritik keras langkah instansi yang seharusnya melindungi hak-hak buruh. “Depnaker malah jadi jembatan bagi perusahaan untuk melanggar hukum. Mereka harusnya berdiri di pihak karyawan, bukan membantu perusahaan untuk menghindari kewajiban,” kata Berthy dengan nada marah.
Sementara itu, Ketua DPD Rampas 08, Djurmin B, menyatakan bahwa mereka akan terus mendesak pihak berwenang untuk menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran yang terjadi. “Ini bukan sekedar soal uang, tapi soal martabat buruh yang dilanggar. Kami meminta kompensasi dibayar penuh dan kami juga ingin permintaan maaf dari PT JNP dan Disnaker,” katanya tegas.
Karyawan Menuntut Keadilan
Daftar panjang nama-nama karyawan yang menuntut kompensasi penuh terus bertambah. Dari Melki Palute hingga Zainal Abidin, mereka sepakat untuk bersatu dalam perjuangan. Para karyawan itu menginginkan penegakan hukum yang jelas dan memastikan bahwa tak ada lagi karyawan yang diperlakukan secara sewenang-wenang.
“Selama ini, kami hanya diberi janji kosong. Tapi sampai sekarang, tidak ada transparansi soal siapa yang benar-benar berhak mendapat kompensasi. Kami tidak akan diam, kami akan terus melawan,” kata Asbar, salah seorang karyawan yang menolak hasil negosiasi.
Krisis Kepercayaan dan Ketidakpastian
Selama berbulan-bulan, PT JNP terus menyimpan rincian kompensasi di balik tirai gelap ketidakpastian. Tak ada pengumuman resmi, tak ada kejelasan, hanya janji yang terus tertunda. Di sisi lain, Disnaker juga menjadi sorotan karena dianggap lebih berperan sebagai mediator yang menguntungkan perusahaan, bukan sebagai lembaga yang seharusnya melindungi hak-hak buruh.
Kasus ini membuka tabir kelam tentang bagaimana perusahaan besar dan instansi pemerintah bisa berkolusi untuk mengabaikan hak-hak dasar pekerja. Tanpa ada kejelasan dan tindakan tegas, kisah ini berpotensi menjadi kisah panjang yang tidak hanya merugikan pihak-pihak terkait, tetapi juga mengancam integritas hukum di Kabupaten Kolaka.
Sumber: Adi Agung
Pewarta:Red