Runtuhnya Singgasana PKS di Pilkada Kota Depok

Pemerintah31 views

 

Penulis: Dr. Iswadi, M.Pd.

Dosen Universitas Esa Unggul Jakarta

Opini : Kota Depok selama lebih dari dua dekade dikenal sebagai salah satu basis politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang paling kokoh di Indonesia. Sejak berdirinya kota ini sebagai wilayah administratif pada tahun 1999, PKS telah menjadi penguasa dominan, menempatkan kader-kadernya di kursi wali kota selama tiga periode berturut-turut. Nama-nama seperti Nur Mahmudi Ismail dan Mohammad Idris lekat dengan identitas pemerintahan Depok, menjadikan PKS bak “penguasa tunggal” yang sulit ditandingi oleh partai lain. Namun, Pilkada 2024 menjadi babak baru yang mencatatkan sejarah penting: singgasana PKS di Depok akhirnya runtuh.

Fenomena ini tidak terjadi dalam satu malam. Kekalahan PKS dalam Pilkada Kota Depok merupakan hasil dari dinamika politik yang kompleks, termasuk perubahan preferensi pemilih, kritik terhadap kinerja petahana, dan strategi oposisi yang semakin matang. Peristiwa ini menjadi pelajaran penting, tidak hanya bagi PKS, tetapi juga bagi partai-partai lain yang berusaha mempertahankan kekuasaan di era politik yang semakin kompetitif.

Sejak awal, PKS berhasil membangun reputasi sebagai partai yang berbasis pada nilai-nilai Islam, pelayanan masyarakat, dan kedekatan dengan konstituen. Strategi “turun ke bawah” menjadi senjata utama PKS untuk merebut hati warga Depok. Sosok seperti Nur Mahmudi Ismail menjadi simbol kesuksesan PKS di kota ini. Ia dikenal sebagai pemimpin yang bersahaja dan dekat dengan masyarakat, meski tidak lepas dari kontroversi.

Setelah dua periode kepemimpinan Nur Mahmudi, tongkat estafet diserahkan kepada Mohammad Idris, yang meneruskan dominasi PKS di Depok. Dalam dua periode kepemimpinannya, Idris dikenal sebagai tokoh yang religius dan pandai memainkan isu-isu populis, terutama yang berkaitan dengan identitas agama. Namun, kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahannya mulai bermunculan, seperti pengelolaan infrastruktur yang dinilai lambat, masalah sampah yang belum teratasi, hingga isu ketimpangan pembangunan.

Pilkada 2024 menjadi momentum yang mengguncang PKS di Depok. Berbagai faktor berkontribusi terhadap kekalahan ini. Pertama, adanya kejenuhan dari masyarakat terhadap kepemimpinan yang didominasi satu partai selama bertahun-tahun. Banyak warga merasa bahwa PKS tidak lagi memberikan perubahan yang signifikan, melainkan terjebak dalam rutinitas politik tanpa inovasi.

Kedua, kritik tajam terhadap pemerintahan Mohammad Idris semakin menggema. Beberapa program unggulan yang dijanjikan tidak terealisasi dengan maksimal, seperti penyelesaian masalah banjir dan tata kelola transportasi publik yang kurang memadai. Warga Depok, yang semakin terpapar dengan arus informasi digital, menjadi lebih kritis dan menuntut perbaikan nyata.

Ketiga, oposisi tampil lebih solid dibandingkan sebelumnya. Koalisi partai-partai non-PKS berhasil mengusung calon yang memiliki daya tarik tinggi, baik secara personal maupun program. Figur muda yang dinamis, inovatif, dan memiliki visi pembangunan kota yang lebih konkret menjadi magnet bagi pemilih, terutama generasi milenial dan Gen Z yang kini menjadi kekuatan signifikan dalam pemilu.

Salah satu strategi oposisi yang cukup berhasil adalah penggunaan media sosial secara masif untuk membangun citra positif kandidat mereka sekaligus mengkritik kebijakan petahana. Narasi perubahan yang mereka usung berhasil menyentuh keresahan warga Depok yang merasa stagnasi pembangunan.

Runtuhnya kekuasaan PKS di Depok adalah pengingat bahwa politik adalah tentang perubahan dan adaptasi. Kekuasaan yang terlalu lama dipegang tanpa inovasi akan menghadapi tantangan besar, terutama di era keterbukaan informasi. PKS dinilai gagal membaca tanda-tanda perubahan zaman, terutama dalam menjangkau generasi muda yang memiliki aspirasi dan gaya komunikasi berbeda dibandingkan generasi sebelumnya.

Di sisi lain, kekalahan ini juga menjadi peluang bagi PKS untuk introspeksi dan mereformasi strategi politiknya. Jika PKS ingin kembali merebut Depok di masa depan, mereka harus mampu merancang program-program yang relevan dengan kebutuhan warga sekaligus memperkuat komunikasi politik mereka di tingkat akar rumput.

Kekalahan PKS di Depok membuka lembaran baru bagi kota ini. Pemimpin baru yang terpilih diharapkan mampu membawa perubahan nyata, terutama dalam mengatasi masalah-masalah yang selama ini menjadi keluhan warga, seperti tata kelola kota yang lebih modern, penyelesaian kemacetan, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Namun, jalan untuk mewujudkan visi tersebut tentu tidak mudah. Pemimpin baru harus bekerja keras untuk membuktikan bahwa perubahan yang mereka janjikan bukan sekadar retorika kampanye. Tantangan terbesar adalah menjaga kepercayaan publik yang telah memberikan mandat kepada mereka.

Runtuhnya singgasana PKS di Pilkada Kota Depok bukan sekadar kisah tentang perubahan politik lokal, melainkan cerminan dari dinamika demokrasi yang terus berkembang di Indonesia. Ini adalah pengingat bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang abadi, melainkan harus terus diraih melalui kerja keras, inovasi, dan kepekaan terhadap kebutuhan rakyat.

Bagi PKS, kekalahan ini bisa menjadi momen kebangkitan atau justru titik awal kemunduran di wilayah yang selama ini menjadi salah satu benteng mereka. Sedangkan bagi warga Depok, perubahan ini adalah harapan baru untuk masa depan yang lebih baik. Waktu akan membuktikan apakah keputusan mereka di Pilkada 2024 akan membawa Depok ke arah yang diinginkan. (*)