Magelang, MabesNews.com – Pengadilan Negeri Mungkid, Kabupaten Magelang, menggelar sidang perdana kasus kekerasan seksual yang melibatkan KH. Ahmad Labib Asrori, pengasuh Pondok Pesantren Irsyadul Mubtadi’ien di Tempuran, Magelang.
Kasus ini mencuat setelah KH. Ahmad Labib Asrori dilaporkan melakukan tindak kekerasan seksual terhadap empat santriwatinya.
Sidang yang digelar pada Senin, 11 November 2024, ini menarik perhatian publik karena melibatkan seorang tokoh agama dan mantan pejabat politik yang cukup dikenal di daerah tersebut.
Terkait dengan tindakannya, terdakwa yang juga mantan Ketua DPRD Kabupaten Magelang ini dijerat dengan Pasal 6c juncto Pasal 15 Ayat 1 Huruf b, c, dan e UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Berdasarkan pasal tersebut, KH. Ahmad Labib Asrori terancam hukuman penjara maksimal selama 12 tahun, serta denda sebesar sekitar Rp. 290 juta.
Sidang perdana tersebut dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim, Fahrudin Said Ngaji, S.H., M.H., dengan dua anggota hakim, Asri, S.H. dan Alfian Wahyu Pratama, S.H., M.H.
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menangani perkara ini adalah Naufal Ammanullah, S.H., dan Aditya Otavian, S.H.
Terdakwa KH. Ahmad Labib Asrori hadir dengan didampingi oleh tim Penasehat Hukum, Satria Budi, S.H. dan M. Fauzi, S.H.
Dalam sidang tersebut, turut hadir juga tim Penasehat Hukum dari pihak korban, Ahmad Solihudin, S.H., dan Gunawan Pribadi, S.H., yang mendampingi empat santriwati yang menjadi korban.
Selain itu, Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK) Aliansi Tepi Barat, yang dipimpin oleh Pujiyanto alias Yanto Pethuk, turut hadir memberikan dukungan moral dan hukum kepada para korban.
Mereka berkomitmen untuk mengawal kasus ini hingga mendapatkan putusan yang maksimal.
Saat di wawancarai MabesNews.com, Pujiyanto menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawal jalannya proses hukum hingga tuntas. Senen (11/11/2024).
“Kami akan memastikan agar keputusan yang diambil oleh Pengadilan Negeri Mungkid sesuai dengan tuntutan hukum yang adil,” ujar Pujiyanto.
Ia juga berharap agar proses peradilan berjalan transparan dan tidak ada tebang pilih, meski terdakwa memiliki status sosial yang tinggi.
“Kita semua sama di mata hukum, tidak ada yang lebih di atas hukum hanya karena status sosial,” tambahnya.
Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan seorang tokoh agama yang memiliki pengaruh di masyarakat. Oleh karena itu, banyak pihak berharap agar pengadilan dapat mengambil keputusan yang objektif dan berkeadilan, tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.
Sidang berikutnya akan dilanjutkan setelah pembacaan dakwaan yang dilakukan pada sidang perdana ini.