Kupang – Rumah Ipda Rudy Soik di Kupang, Musa Tenggara Timur, didatangi sekitar 20 personel Provost Polda NTT yang hendak menjemput paksa pada Senin petang pukul 17.00 WITA.
“Ada sekitar 20 anggota datang untuk penangkapan saya,” kata Rudy, Senin malam, 21 Oktober 2024.
“Tidak ada dasar untuk penangkapan. Katanya perintah Kapolda,” katanya.
Kedatangan puluhan polisi ini memicu ketegangan, karena Rudy saat itu sedang bersama anak-anaknya. Sempat terjadi perdebatan antara polisi yang hendak menjemput paksa Rudy dengan pengacaranya. Mereka berdebat mengenai legalitas penjemputan yang dilakukan tanpa dokumen resmi.
Sekitar pukul 18.30 WITA, rombongan polisi akhirnya meninggalkan tempat tanpa membawa Rudy Soik setelah gagal menunjukkan dasar hukum yang jelas.
Sebelumnya, Rudy Soik telah mengajukan banding atas sanksi pemecatan dirinya. Ia meminta sidang banding nanti digelar terbuka untuk publik agar transparan. Permintaan ini diajukan karena dia merasa mendapat perlakuan diskriminasi oleh Kapolda Nusa Tenggara Timur.
“Terhadap kasus saya, Kapolda NTT Daniel Silitonga belum membaca banding saya saja, sudah terlebih dahulu menyatakan ke publik bahwa saya tidak pantas dipertahankan,” ujar Rudy kepada Tempo pada Senin, 21 Oktober 2024. “Ini menandakan kepentingan tendensius.”
Untuk mengantisipasi adanya campur tangan dari Kapolda , Rudy meminta agar sidang bandingnya nbisa diakses oleh masyarakat umum. “Saya meminta sidang dibuka secara transparan dan terbuka biar masyarakat mengetahuinya,” ucap dia.
Kasus ini berawal dari keputusan Polda NTT memecat Rudy melalui Sidang Kode Etik Profesi Polri (KKEP) pada 11 Oktober 2024. Keputusan ini diambil karena Rudy dinyatakan bersalah melanggar Kode Etik ketika menangani dugaan penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) di Kota Kupang.
“Secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri berupa ketidakprofesionalan dalam penyelidikan dugaan penyalahgunaan bahan bakar minyak jenis solar dengan pemasangan police line di lokasi Ahmad Anshar dan Algajali Munandar,” bunyi dalam putusan Nomor: PUT/38/X/2024.
Belakangan keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) Rudy Soik mendapat sorotan dari publik karena dinilai janggal. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Humas) Polda NTT Komisaris Besar Ariasandy menyebut pemecatan Rudy bukan hanya karena memasang garis polisi di kasus itu saja, tapi ada 12 pelanggaran kode etik yang telah dilakukan oleh Rudy.
“Rudy Soik terlibat dalam 12 kasus pelanggaran selama bertugas, dengan tujuh di antaranya terbukti bersalah dan telah menjalani berbagai hukuman,” ucapnya dalam keterangan resmi pada Kamis, 17 Oktober 2024.(tempo/red)