Oleh: Kh. Dr. Muhammad Sontang Sihotang, S.Si., M.Si.(Mudir Jatman Idaroh Wustho Sumut, Wartawan Dayak News, Kepala Laboratorium Fisika Nuklir USU, Peneliti PUI Karbon & Kemenyan, Ketua Dewan Pendidikan Langkat)
MabesNews.com- Medan-Peningkatan Kesadaran dan Partisipasi Komunitas: Implementasi ekonomi hijau di tingkat rumah tangga memerlukan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya daur ulang dan manfaatnya bagi lingkungan dan ekonomi lokal. Kampanye pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan dapat memperkuat partisipasi komunitas dalam inisiatif ekonomi hijau.
• Produk Ramah Lingkungan dan Ekonomi Hijau: Hasil dari pengolahan limbah kulit telur dapat berkontribusi pada pengurangan emisi karbon dan penciptaan produk ramah lingkungan, seperti pupuk organik atau bahan tambahan makanan yang lebih alami dan berkelanjutan.
Produk-produk ini dapat dijual di pasar lokal maupun nasional sebagai bagian dari upaya mendorong ekonomi hijau.
Dengan solusi-solusi ini, ruang lingkup kajian akan memberikan dampak positif di Tebing Tinggi, baik dari segi lingkungan, sosial, maupun ekonomi, sesuai dengan target SDG’s dan prinsip ekonomi hijau yang berkelanjutan.
Untuk memberikan solusi atas Aksioma Kajian yang menyatakan bahwa pengelolaan limbah kulit telur yang terencana dapat menjadi solusi zero waste yang efektif dan menghasilkan produk bernilai tinggi seperti kalsium karbonat, langkah-langkah berikut dapat diambil:
1. Perencanaan Pengelolaan Limbah yang Terstruktur
Solusi Alternatif:
• Sistem Pengumpulan Terorganisir: Menerapkan sistem pengumpulan limbah kulit telur yang terstruktur di lingkungan rumah tangga, sekolah, dan komunitas. Ini bisa berupa titik pengumpulan atau jadwal khusus pengumpulan limbah organik. Sistem ini memastikan pasokan limbah yang cukup untuk pengolahan secara berkelanjutan.
• Pemetaan Sumber Limbah: Mengidentifikasi sumber-sumber utama limbah kulit telur di komunitas, seperti rumah tangga, warung makan, dan toko roti. Pemetaan ini dapat membantu pengelola limbah merencanakan pengumpulan yang lebih efisien dan sesuai dengan volume yang dihasilkan.
2. Teknologi Pengolahan yang Sederhana dan Efisien
Solusi Alternatif:
• Penerapan Teknologi Pengolahan Rendah Biaya: Penggunaan alat penggiling manual atau otomatis yang bisa diakses oleh ibu-ibu rumah tangga untuk mengolah limbah kulit telur menjadi bubuk kalsium karbonat. Metode sederhana ini dapat diajarkan melalui pelatihan dan didukung oleh pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (Sukmawati et al., 2020).
• Pengembangan Produk Bernilai Tinggi: Selain digunakan sebagai bahan kalsium karbonat, limbah kulit telur dapat diproses lebih lanjut menjadi bahan tambahan untuk kosmetik, pupuk organik, atau bahan pengisi pada industri makanan. Inovasi produk ini dapat meningkatkan nilai jual dan menciptakan pasar yang lebih luas (Rodrigues et al., 2017).
3. Implementasi Zero Waste dan Ekonomi Sirkular.
Solusi Alternatif:
• Prinsip Ekonomi Sirkular: Dengan menerapkan prinsip-prinsip ekonomi sirkular, limbah kulit telur yang dihasilkan tidak akan dibuang, melainkan diolah kembali menjadi produk yang bernilai. Proses daur ulang ini dapat dimulai dari rumah tangga, di mana ibu-ibu Dharma Wanita dapat berperan aktif dalam mendaur ulang limbah mereka dan menciptakan produk yang bisa dipasarkan (Ghisellini et al., 2016).
• Sertifikasi Produk Ramah Lingkungan: Produk kalsium karbonat yang dihasilkan dari pengolahan limbah dapat diberikan sertifikasi sebagai produk ramah lingkungan, yang akan meningkatkan nilai jualnya di pasar. Sertifikasi ini dapat menjadi daya tarik tambahan bagi konsumen yang peduli terhadap lingkungan.
4. Kolaborasi Multi-Pihak melalui Hepta Helix
Solusi Alternatif:
• Kolaborasi Antar Stakeholder: Untuk mencapai keberhasilan dalam pengelolaan limbah berbasis zero waste, diperlukan kolaborasi antara berbagai pihak seperti pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan komunitas. Pemerintah dapat mendukung dari sisi regulasi dan kebijakan, sektor swasta dapat berperan dalam pendanaan dan pemasaran, sedangkan komunitas terlibat dalam pengelolaan harian (Carayannis & Campbell, 2010).
• Peningkatan Kesadaran Melalui Media: Media lokal dapat digunakan untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya pengelolaan limbah kulit telur dan manfaat ekonomi dari produk yang dihasilkan. Kampanye kesadaran ini akan membantu menciptakan budaya zero waste di lingkungan rumah tangga.
Dengan menerapkan solusi-solusi di atas, pengelolaan limbah kulit telur yang terencana dapat mencapai tujuan zero waste yang efektif sekaligus menghasilkan produk bernilai tinggi yang mendukung ekonomi lokal.
Untuk memberikan solusi atas kalimat di Peta Pemikiran (Peta Konsep Kajian) dan Hipotesis Kajian, berikut langkah-langkah yang dapat diambil: (Bagian V)
1. Peta Pemikiran:
• Limbah Kulit Telur → Proses Pengolahan → Kalsium Karbonat → Manfaat Ekonomi Solusi:
o Optimasi Proses Pengolahan: Pastikan proses pengolahan kulit telur menjadi kalsium karbonat dilakukan dengan metode yang efisien dan berbiaya rendah, menggunakan teknologi sederhana yang dapat diakses oleh komunitas rumah tangga. Langkah ini bisa mencakup proses pengeringan, penggilingan, dan penyaringan yang tepat (Rodrigues et al., 2017).
o Pemanfaatan Pasar Lokal dan Regional: Manfaat ekonomi bisa diwujudkan dengan menjual kalsium karbonat yang dihasilkan ke berbagai sektor seperti pertanian (untuk pupuk), industri makanan (bahan tambahan), dan kosmetik (pengisi produk). Dengan demikian, pengelolaan limbah tidak hanya mendukung zero waste, tetapi juga menciptakan peluang bisnis bagi keluarga di Tebing Tinggi (Sukmawati et al., 2020).
• Zero Waste → Ekonomi Sirkular → Hepta Helix Solusi:
o Prinsip Zero Waste dan Ekonomi Sirkular: Penerapan zero waste dapat dimulai dengan pemisahan dan pengelolaan limbah rumah tangga. Limbah organik, seperti kulit telur, dapat diolah menjadi produk yang berguna dan bernilai ekonomi. Prinsip ekonomi sirkular memungkinkan limbah diolah secara terus-menerus, mengurangi sampah ke TPA dan menghasilkan nilai tambah (Ghisellini et al., 2016).
o Kolaborasi Hepta Helix: Hepta Helix mengedepankan kolaborasi antara tujuh pemangku kepentingan (pemerintah, akademisi, komunitas, industri, media, lingkungan, dan teknologi) untuk mendukung keberlanjutan pengelolaan limbah. Dengan melibatkan berbagai pihak, solusi ini akan lebih kuat dan berkelanjutan. Akademisi dapat berkontribusi dalam riset teknologi pengolahan, industri berperan dalam pemasaran, dan pemerintah memberikan regulasi serta insentif (Carayannis & Campbell, 2010).
2. Hipotesis Kajian:
• Pemanfaatan limbah kulit telur sebagai kalsium karbonat dapat meningkatkan perekonomian keluarga sekaligus mendukung terciptanya zero waste dan ekonomi sirkular. Solusi:
o Peningkatan Ekonomi Keluarga: Pengolahan limbah kulit telur menjadi kalsium karbonat memberikan peluang bisnis bagi keluarga di Tebing Tinggi. Produk yang dihasilkan dapat dipasarkan di lokal maupun regional, yang meningkatkan pendapatan keluarga dan memberdayakan ibu rumah tangga.
o Dukungan Zero Waste dan Ekonomi Sirkular: Sistem zero waste akan terbentuk ketika limbah yang dihasilkan dapat diolah sepenuhnya menjadi produk bernilai tanpa ada yang dibuang. Limbah kulit telur, yang biasanya dianggap tidak berguna, diubah menjadi bahan bermanfaat, mendukung ekonomi sirkular dengan siklus daur ulang yang berkelanjutan (Ghisellini et al., 2016).
Dengan solusi-solusi ini, kajian dapat menghasilkan peta pemikiran dan hipotesis yang kuat, yang tidak hanya memberikan manfaat ekonomi bagi keluarga tetapi juga mendukung lingkungan melalui prinsip zero waste dan ekonomi sirkular.
Berikut adalah rancangan model keuangan yang relevan dengan pengelolaan limbah kulit telur menjadi kalsium karbonat untuk mendukung ekonomi sirkular, berdasarkan langkah-langkah di tulisan sebelumnya:
1. Biaya Awal (Modal Awal)
Untuk memulai pengolahan limbah kulit telur menjadi kalsium karbonat, dibutuhkan beberapa komponen modal awal:
• Peralatan Pengolahan:
o Mesin penggiling atau blender untuk menghancurkan kulit telur (jika tidak menggunakan penggiling manual).
o Alat pengering (oven pengering atau metode pengeringan alami, tergantung skala produksi).
o Ayakan atau saringan untuk mendapatkan partikel halus kalsium karbonat.
• Bahan Baku:
o Kulit telur (dapat diperoleh dari rumah tangga atau usaha kuliner lokal).
o Biaya transportasi untuk pengumpulan kulit telur dari berbagai sumber.
• Biaya Pelatihan:
o Pelatihan pengelolaan dan teknologi sederhana untuk ibu-ibu rumah tangga dalam memproses kulit telur.
Estimasi Biaya Awal:
• Mesin penggiling: Rp 2.000.000 – Rp 5.000.000 (tergantung kapasitas).
• Alat pengering: Rp 1.500.000 – Rp 3.000.000 (untuk oven sederhana).
• Ayakan: Rp 300.000 – Rp 500.000.
• Pelatihan: Rp 500.000 – Rp 1.000.000 per orang (tergantung pada durasi dan kompleksitas pelatihan).
2. Biaya Operasional (OPEX)
Biaya operasional harian atau bulanan meliputi:
• Bahan baku (kulit telur): Umumnya bahan baku ini diperoleh dengan biaya rendah atau bahkan gratis dari rumah tangga dan usaha kuliner yang ingin membuang limbah mereka.
• Tenaga kerja: Kompensasi untuk tenaga kerja yang terlibat dalam pengolahan limbah. Biasanya melibatkan ibu-ibu rumah tangga.
• Listrik dan utilitas: Biaya untuk mengoperasikan alat pengering dan penggiling, serta biaya air untuk mencuci kulit telur.
• Pengemasan: Biaya untuk pengemasan produk kalsium karbonat, terutama jika produk dipasarkan secara luas.
Estimasi Biaya Bulanan:
• Listrik dan air: Rp 500.000 – Rp 1.000.000.
• Pengemasan: Rp 200.000 – Rp 500.000.
• Gaji pekerja: Rp 1.000.000 – Rp 2.500.000 per orang, tergantung pada skala produksi.
3. Pendapatan
Pendapatan utama berasal dari penjualan produk kalsium karbonat. Produk ini dapat dipasarkan dalam bentuk:
• Suplemen kalsium: Kalsium karbonat dapat dijual kepada konsumen sebagai suplemen kalsium.
• Produk pertanian: Kalsium karbonat dapat dijual sebagai bahan tambahan untuk memperbaiki kualitas tanah (peningkatan pH).
• Industri makanan dan kosmetik: Produk ini juga dapat dijual ke sektor-sektor seperti makanan dan kosmetik, sebagai bahan aditif.
Harga Produk:
• Suplemen kalsium karbonat: Rp 20.000 – Rp 50.000 per 100 gram.
• Kalsium karbonat untuk pertanian: Rp 5.000 – Rp 10.000 per kg.
Proyeksi Pendapatan:
• Jika dapat diproduksi 50 kg kalsium karbonat per bulan, dan dijual dengan harga rata-rata Rp 10.000 per kg untuk pertanian, maka pendapatan bulanan bisa mencapai Rp 500.000.
• Untuk suplemen, dengan harga lebih tinggi, misalnya Rp 30.000 per 100 gram, 10 kg produk bisa menghasilkan pendapatan Rp 3.000.000.
4. Laba Bersih
Rumus:
Pendapatan – (Biaya Tetap + Biaya Variabel)
Contoh Laba:
• Pendapatan bulanan dari penjualan kalsium karbonat: Rp 3.500.000.
• Biaya operasional bulanan: Rp 2.000.000.
• Laba bersih: Rp 1.500.000.
5. Skalabilitas dan Ekspansi
• Ekspansi Produk: Produk kalsium karbonat dapat diolah lebih lanjut menjadi produk bernilai lebih tinggi seperti masker wajah, suplemen kesehatan, atau bahkan dijual kepada industri kimia.
• Kolaborasi dengan UMKM: Dengan bekerjasama dengan UMKM dan koperasi, produk ini dapat diperluas distribusinya, dan skala produksi dapat meningkat, memungkinkan biaya operasional per unit lebih efisien.
Dengan model keuangan ini, komunitas rumah tangga di Tebing Tinggi bisa mulai memproduksi kalsium karbonat dengan investasi awal yang rendah dan potensi pendapatan yang cukup menjanjikan dalam mendukung ekonomi sirkular berbasis komunitas.
Berdasarkan hasil analisis X-Ray Fluorescence (XRF) yang umumnya dilakukan pada cangkang kulit telur, kandungan kalsium (Ca) dalam cangkang telur dapat mencapai sekitar 94% hingga 97% dari total komposisi. Sumber utama kalsium dalam cangkang telur adalah kalsium karbonat (CaCO₃), yang juga dapat mencakup elemen-elemen minor lainnya seperti magnesium, fosfor, serta jejak dari unsur-unsur seperti sodium dan kalium.
Namun, untuk mendapatkan hasil pasti dari cangkang telur tertentu, analisis XRF yang dilakukan secara spesifik pada sampel tersebut sangat diperlukan karena kadar unsur minor bisa bervariasi berdasarkan lingkungan dan nutrisi unggas.
Penutup
Kesimpulan: Pemanfaatan limbah kulit telur sebagai kalsium karbonat menawarkan solusi inovatif untuk zero waste dan mendukung ekonomi sirkular di Kota Tebing Tinggi.
Saran & Rekomendasi: Pelatihan lebih lanjut bagi ibu-ibu Dharma Wanita dan dukungan pemerintah dalam memfasilitasi usaha ini.
Daftar Pustaka:
• Carayannis, E. G., & Campbell, D. F. J. (2010). “Triple Helix, Quadruple Helix and Hepta Helix Innovation Systems: Multi-Stakeholder Co-Creation and Symbiotic Innovation Leadership”. Technovation, 34(3), 41-53.
• Ellen MacArthur Foundation. (2013). “Towards the Circular Economy: Economic and Business Rationale for an Accelerated Transition”.
• Johnson, B. (2013). Zero Waste Home: The Ultimate Guide to Simplifying Your Life by Reducing Your Waste. Scribner.
• United Nations. (2015). “Sustainable Development Goals”.