GPK Aliansi Tepi Barat Kecam Keras, Tindakan Kekerasan Seksual di Tempuran Magelang

Berita168 views

MabesNews.com | Jateng – Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK) Aliansi Tepi Barat Magelang, menyelenggarakan Konferensi Pers terkait kasus tindakan asusila, Senin (12/08/2024). Hal itu sebagai kecaman terhadap kasus asusila yang terjadi di salah satu Pondok Pesantren di Tempuran, Kabupaten Magelang, yang melibatkan seorang kyai sebagai Pelaku.

Komandan GPK Aliansi Tepi Barat, Pujiyanto atau Yanto Petok’s, memaparkan kebiadaban yang dilakukan oleh kyai AL (57) terhadap santriwati, peristiwa terjadi pada bulan suci Ramadhan 1445/Maret 2024 lalu.

GPK aliansi tepi barat saat konferensi pers (foto agl/mabesnews.com)

“Melalui Konferensi Pers ini kami menyampaikan, mengutuk keras kasus kekerasan seksual terhadap santriwati yang dilakukan oleh seorang kyai pengasuh salah satu pondok pesantren di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah,” tegasnya.

ZM selaku Korban didampingi Kuasa Hukumnya Ahmad Sholihuddin, S.H melapor ke Polres Kabupaten Magelang, Laporan ini teregister dengan Nomor: LP/B/41/VII/2024/SPKT/Polresta Magelang/Polda Jateng tertanggal 9 Juli 2024.

Kyai yang telah ditetapkan sebagai Tersangka pada 1 Agustus 2024 yaitu AL (57). Selain sebagai pengasuh pondok pesantren, juga merupakan tokoh penting di organisasi NU (Nahdlatul Ulama) sebagai Khatib Syuriah PCNU Kabupaten Magelang dan juga pernah menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Magelang periode tahun 2004-2009.

Menurut keterangan dari Korban bahwa tindak pidana kekerasan seksual ini dilakukan Tersangka sejak tahun 2023, namun Korban baru berani menceritakan kepada keluarga pada awal 2024. GPK menilai lebih biadab lagi bahwa aksi Tersangka dilakukan pada bulan puasa tahun 2024 lalu.

Ahmad Sholihuddin, S.H., Kuasa Hukum dari Korban ZM, menceritakan bahwa korban pertama kali mengalami pemerkosaan saat suasana pondok pesantren sedang sepi.

“Modus Tersangka melakukan aksi bejatnya, ketika Korban sedang tadarus setelah shalat tarawih dipanggil oleh Tersangka untuk diminta membuatkan kopi dan diantarkan ke kamar salah seorang santri. Di situlah Korban dipaksa untuk melayani nafsu bejat Tersangka,” terang Ahmad Solihuddin.

“Dan untuk pondok pesantren itu saya ingin ditutup. Memang bukan salah pondoknya, tetapi ketika saya melihat pondok itu, saya masih sakit hati. Karena semua ruangan di pondok itu pernah menjadi tempat pencabulan terhadap saya,” ungkap Korban ZM.

Di tengah berbagai kendala, Ahmad Solihuddin, S.H. bersama dengan pihak GPK Aliansi Tepi Barat berkomitmen untuk mencari keadilan bagi Korban tanpa terpengaruh oleh tawaran uang atau ancaman. Mereka percaya bahwa kebenaran dan keadilan harus tetap dijunjung tinggi, meskipun dihadapkan pada tekanan dan godaan.

GPK aliansi tepi barat saat konferensi pers (foto dok agl/mabesnews.com)

Sementara itu, Gunawan Setya Pribadi, S.H. mengatakan bahwa pihaknya akan mengawal proses hukum ini sampai dengan putusan pengadilan.

“Karena di mata hukum, semua adalah sama,” tegasnya.