MabesNews.Com | Jakarta — TUJUH partai politik tak lolos peserta Pemilu 2024 kembali menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, waktu pendaftaran gugatan itu bervariasi, terhitung sejak KPU RI menetapkan 24 partai politik peserta Pemilu 2024 pada 14 Desember 2022 lalu.
Tujuh partai politik itu yakni Partai Keadilan dan Persatuan (PKP), Partai Republik, Partai Swara Rakyat Indonesia (Parsindo), Partai Berkarya, Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA), Partai Masyumi, dan Partai Pergerakan Kebangkitan Desa (Perkasa).
Inti gugatan ketujuh partai politik ini serupa, yaitu meminta supaya Keputusan KPU RI Nomor 518 Tahun 2022 tentang penetapan peserta Pemilu 2024 dibatalkan/dinyatakan tidak sah oleh majelis hakim PTUN Jakarta serta dicabut oleh KPU RI.
Alasan kembali gugat KPU Partai-partai ini tergabung dalam aliansi bernama Gerakan Melawan Political Genocide yang dipimpin Ketua Umum Partai Masyumi, Ahmad Yani.
Mereka sebelumnya juga telah menggugat KPU RI ke PTUN, ketika lembaga penyelenggara pemilu itu belum menetapkan peserta Pemilu 2024 dan masih sibuk melakukan verifikasi administrasi dan faktual.
KPU RI baru menetapkan peserta Pemilu 2024 pada 14 Desember 2022.
“Kami menggugat ini memang yang kedua kali, karena dulu pada waktu menggugat awal, Ketua Majelis (Hakim) PTUN menganggap belum waktunya (menggugat). Dianggap prematur karena masih menunggu proses tanggal 14 Desember,” jelas Yani, Senin (9/1/2023).
Permohonan 7 partai politik ini pun identik karena disebut merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 4 Tahun 2017.
Peraturan itu mengatur bahwa permohonan sengketa pelanggaran administrasi pemilu di pengadilan hanya dapat melingkupi 5 hal, yaitu a) mengabulkan permohonan seluruhnya; b) menyatakan batal objek permohonan; c) memerintahkan termohon mencabut objek permohonan tersebut; d) memerintahkan termohon menerbitkan keputusan tentang penetapan pemohon sebagai calon anggota legislatif atau pasangan capres-cawapres; dan e) perintah membayar biaya perkara.
“Jadi memang tidak boleh banyak macam. Makanya tidak banyak petitum kami. Argumentasi juga harus disesuaikan. Kalau kemarin kami banyak betul petitumnya,” tutup Yani.